Rabu, 11 Februari 2009

Eropa Abad Pertengahan (bag 1) PERANG SALIB

1. Pendahuluan
Sejarah Eropa memiliki bentangan waktu yang panjang dimulai sejak Paleolitik ratusan ribu tahun yang lalu. Banyak sejarawan dunia cenderung membagi periodisasi sejarah eropa menjadi tiga; eropa klasik, pertengahan, dan modern. Masa Yunani klasik hingga abad 5 masehi sering disebut zaman eropa klasik, runtuhnya kekaisaran Romawi barat hingga jatuhnya Konstantinopel tahun 1453 disebut abad pertengahan, atau sebagian pakar yang lain menyebutnya sebagai abad gelap, kemudian periode eropa modern dimulai dari renaisans hingga awal abad 20. Diantara ketiganya, kajian mengenai abad pertengahan sering diwarnai dengan kesan-kesan tidak baik. Hal ini dimungkinkan mengingat banyak kalangan sering memberikan stereotipe kepada abad pertengahan sebagai periode buram sejarah eropa mengingat dominasi kekuatan agama yang begitu besar sehingga menghambat perkembangan ilmu pengetahuan . Teresapi prinsip-prinsip moralitas yang agung serta sistem etika universal, kehidupan serta pemikiran dalam zaman pertengahan menyingkap suatu daya jangkau kekuasaan agama yang begitu luas dalam kreasi suatu peradaban yang memiliki kesusastraan, seni arsitektur, filsafat, dan institusi-institusinya sendiri.
Sejak runtuhnya kekaisaran Romawi barat, kehidupan ekonomi dapat dikatakan menurun. Kota-kota dagang satu persatu hilang, masyarakat kemudian terkonsentrasi di pedesaan. Ekonomi dagang atau ekonomi uang mati dan digantikan oleh ekonomi pedesaan yang bertumpu pada bidang agraris. Oleh karenanya, pusat-pusat gereja banyak bermunculan di desa-desa. Dengan kondisi ekonomi yang demikian, gereja memegang pengaruh kendali untuk membentuk umat sekaligus menyatukannya dalam ikatan-ikatan pertanggungjawaban teologis. Kehidupan pertanian di desa-desa tentu saja dilingkupi oleh struktur-struktur ekonomi tersendiri. Muncul seignor atau tuan tanah dan sekaligus memunculkan petani penggarap. Seignor selanjutnya mewariskan tanah-tanah yang mereka miliki kepada anak cucu nya secara turun temurun. Bisa kemudian disebut, dinasti-dinasti kecil muncul di desa-desa. Banyak para tuan tanah yang memberikan tanahnya untuk didirikan gereja. Demikian juga, para pendeta dijamin kehidupannya oleh para seignor. Oleh karenanya, menurut Lukas (1993) kekuasaan dan pengaruh para tuan tanah yang begitu besar itu selanjutnya membawa implikasi tersendiri dalam mekanisme birokrasi gereja. Secara umum bisa disebut pendeta gereja lokal itu “orang”-nya tuan tanah.
Sebagaimana telah diketahui, abad tengah dimulai ketika kekaisaran romawi barat runtuh dan digantikan oleh Kekaisaran Byzantin atau Byzantium pada awal abad VI. Ia merupakan kekaisaran kristen yang menyandarkan perekonomian pada produksi sutera dan industri manufaktur barang-barang sutera yang dibangun di Konstantinopel, Tyrus dan Beirut. Sementara musuh yang paling mengancam Byzantium tak lain adalah Persia. Beberapa kali perang terjadi diantara keduanya. Persia bisa digolongkan perwakilan dari dunia Islam yang dianut oleh bangsa Arab. Sepertihalnya Byzantium, bangsa arab memiliki sifat-sifat penaklukan yang diikat dalam identitas Islam. Muncullah dua kekuatan besar di daratan eropa dan asia, Byzantium mewakili identitas kristen dan Persia yang mewakili identitas Islam. Lebih lanjut, pertemuan dua kekuatan sekaligus dua peradaban ini sering disebut dengan perang salib atau sabil.



2. Pembahasan
2.1. Perang Salib
Ucapan “Deus Vult” atau “Allah Menghendaki” oleh Paus Urbanus II di Clermont perancis selatan tahun 1095 telah membawa peneguhan semangat kristiani dari umat gereja untuk melawan tentara Islam. Hal ini didahului oleh penaklukkan Turki terhadap kekaisaran Byzantium, dalam pertempuran Manzikert tahun 1071. Empat tahun sesudahnya, tempat-tempat suci umat kristen semisal Palestina, Syria, dan Yerusalem juga telah jatuh ke tangan umat muslim. Kehancuran Byzantium kian dekat oleh karenanya kaisar Konstantinopel, Alexus I, segera meminta bantuan kepada Paus Urbanus II. Oleh karenanya, di Perancis selatan, Paus Urbanus II membakar semangat umat kristen dengan sentimen-sentimen kemanusiaan dan kekristenan. Hingga akhirnya terbentuklah tentara-tentara Salib. Selain, usaha perebutan tanah suci, umat kristiani yang menjadi tentara salib memiliki motivasi penebusan dosa dengan maju berperang membela “Kehendak Allah”. Namun, ada yang berkeyakinan bahwa perang salib bukan merupakan perang agama, bahwa perang tersebut lebih mengarah pada perebutan wilayah (yakni tanah suci Yerusalem). Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu pengetahuan pada akhirnya.
Para tentara salib secara berkala melakukan ekspedisi-ekspedisi penaklukan ke Yerusalem. Tercatat paling tidak terdapat 9 ekpedisi besar ke Yerusalem selama kurun waktu abad 11 hingga abad 13. Kota suci secara bergantian dikuasai oleh pasukan salib dan pasukan islam. Sebagai contoh, pada perang salib I (1096-1099) tentara salib berhasil merebut kembali tanah Palestina, dan kemudian menegakkan empat negeri kristen yakni Yerusalem, Antioch, Edessa, dan Tripoli. Namun pada tahun 1144 Edessa kembali dikuasai oleh orang-orang Turki, sehingga orang-orang kristen yang telah menetap di sana tidak sanggup lagi bertahan. Usaha perebutan kembali tentara salib gagal, bahkan tentara muslim dengan kepemimpinan sultan Saladin kembali menguasai Yerusalem dan Arce sebagai basis utama tentara kristen. Akhirnya sesudah Arce jatuh terakhir kalinya ke tangan kaum muslim pada tahun 1291 dan sesudah penghacuran bangsa Occitan (Perancis Selatan) wacana perang salib berturut-turut menurun dan nyaris hilang. Tentara salib pun lama kelamaan berkurang, hingga akhirnya Napoleon Bonarpate pada tahun 1798 membubarkan tentara salib yang terakhir masih tersisa.

2.2. Pertemuan dua Peradaban
Pertemuan antara tentara kristen dan tentara islam membawa implikasi-implikasi tersendiri atas peradaban masing-masing. Mengingat, dalam peperangan memperebutkan wilayah, setiap pihak yang menang kemudian menetap untuk menempati wilayah tersebut. Bahkan ada yang tidak mau meninggalkannya sekaligus tidak mau pulang ke tempat asal dan cenderung akan mewariskan tanah tersebut kepada anak cucunya kelak. Oleh karenanya komunikasi peradaban yang meliputi kebudayaan, ekonomi, ilmu pengetahuan, sistem politik dimungkinkan terjadi. Paling tidak selama kurun waktu abad 11, interaksi Barat dan Timur menemui titik peningkatan. Barat melihat bahwa bangsa Islam di semenanjung arab meneruskan tradisi Yunani Romawi kuno yang terhilang akibat runtuhnya kekaisaran romawi klasik berikut masuknya periode awal abad tengah di mana agama kristen menguasai segalanya.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, bangsa barat banyak mendapat masukan dari bangsa timur soal sains, sistem pengobatan, dan arsitektur. Contoh yang paling lazim, penguasaan bangsa muslim atas ilmu aljabar dan lensa telah menyumbangkan sistem ilmu pengetahuan di eropa dalam kisaran selanjutnya. Sementara dalam bidang militer, perang salib juga memiliki pengaruh di Eropa, seperti misalnya, kastil-kastil di Eropa mulai menggunakan bahan dari batu-batuan yang tebal dan besar seperti yang dibuat di Timur, tidak lagi menggunakan bahan kayu seperti sebelumnya. Begitupun sebaliknya, tentara Salib dianggap sebagai pembawa budaya Eropa ke dunia, terutama Asia.

2.3. Inspirasi Renaissanse
Perang salib tidak hanya mempertemukan dua kekuatan militer, namun, menilik sisi lain dari persinggungan tersebut, ternyata perang salib menjadi wahana pertemuan dua kebudayaan yang berbeda yakni barat dan timur. Barat / eropa yang memiliki dasar kebudayaan Helenistik yang menyandarkan diri pada sendi-sendi pemikiran dan penalaran rasional dari Aristoteles dan Plato merasa kehilangan kebudayaan aslinya tersebut akibat hibranisme dan protestanisme pada masa abad pertengahan. Seperti menemu kembali induk semang yang telah lama hilang, bangsa eropa mendapati anasir-anasir kebudayaan helenistik Yunani Romawi klasik dalam lingkungan Timur yang diwakili kaum muslim di semenanjung arab dan sebagian afrika serta eropa. Banyak yang diserap dan dipelajari tentara salib atas tradisi hidup masyarakat arab serta aspek-aspek kehidupannya yang meliputi sains, ilmu pengobatan, astronomi, seni, sastra, arsitektur, dan yang lain. Begitupun bagi bangsa arab, pengaruh kebudayaan eropa tidak dipungkiri masuk dalam sendi-sendi kehidupannya.
Perang salib menjadi inspirasi atas penemuan kembali identitas kolektif masyarakat eropa. Seiring perang salib usai, masyarakat eropa menemui kesadaran baru, bahwa konsentrasi atas pengembangan kekistrenan tergolong melampaui batas sehingga aspek-aspek duniawi cenderung terabaikan. Di sisi lain, impresi-impresi kolektif muncul, setelah menemukan sendi-sendi budaya helenistik dalam kehidupan di Timur. Merujuk pada definisinya, renaissanse adalah kebangkitan berdasar penemuan kembali spirit-spirit kejayaan era Yunani Romawi klasik.
Senyatanya budaya helenistik menjadi pijakan atas pembangunan karakter eropa pasca abad pertengahan. Namun, menurut Dr. Abdul Hadi (yang merujuk pada pendapat Marthew Arnold dalam bukunya Culture and Anarchy) bahwa sendi-sendi yang memperkuat kebudayaan dan peradaban Barat bukan hanya helenisme (kebudayaan Yunani), tetapi juga kebudayaan hebraisme (kebudayaan Ibrani).
“Kebudayaan Yunani telah memberikan kepada Barat perangkat-perangkat penalaran rasional, penghargaan pada inteligensi serta kecintaan pada falsafah dan ilmu pengetahuan alam. Di lain hal Hebraisme memberikan dasar-dasar kokoh berupa kecintaan untuk bekerja keras dengan gairah yang tinggi, kepatuhan menjalankan tugas dan kewajiban sesuai aturan, serta kesanggupan mengendalikan diri.”
Apabila renaissanse dihubungkan semangat pembaruan keagamaan abad 13 yang diikuti oleh perkembangan ekonomi kapitalistik, maka hebraisme tergolong menyumbangkan spirit tersendiri. Lain halnya dengan helenisme yang memberikan penghargaan tertinggi terhadap intelegensia dan etika, maka hebraisme menekankan kepada kegairahan bekerja sehingga mencapai hasil maksimal walaupun mengabaikan nilai-nilai moral dan etika.


3. Kesimpulan
Perang salib atau sebagian lain menyebutnya perang sabil pada dasarnya tidak hanya menuai korban-korban berdarah layaknya dalam pertempuran pasukan bersenjata. Implikasi-implikasi lain ternyata muncul, diantaranya secara umum dapat disebut pertemuan dua kebudayaan yakni barat dan timur. Mewakili identitas masing-masing, keduanya mendapati impresi-impresi baru. Terutama tentara salib sebagai pihak barat menemukan cerminan kebudayaan Yunani Romawi klasik dalam kehidupan bangsa eropa. Menjadi sadar, bahwa selama kurang lebih 10 abad, bangsa eropa terkonsentrasi atas pengembangan dan penyebaran ajaran kekristenan sekaligus menegasikan tradisi-tradisi intelegensia. Apa yang kemudian disebut renaissanse pada akhirnya menjadi awal kebangkitan eropa dalam mengembangkan peradabannya hingga kini.




Daftar Pustaka

Buku
Henry S. Lukas. 1993. Sejarah Peradaban Barat Abad Tengah. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana (terjemahan)
Kuntowijoyo. 2005. Peran Borjuasi dalam Transformasi Eropa. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Internet
Makalah Dr. Abdul Hadi Kebudayaan Modern, Despiritualisasi, dan Nihilisme yang disampaikan pada Seminar Internasional Pemikiran Murtadha Murthahhari di Wisma Antara, Sabtu 10 Mei 2004. Diselenggarakan oleh ICAS Jakarta bekerjasama dengan Universitas Paramadina. di unduh dari:
http://icasindonesia.org/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=261 tanggal 14 November 2008

http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Salib

Tidak ada komentar: