Rabu, 02 Juli 2008

Quo Vadis Land Reform Indonesia

Quo Vadis

Land reform di Indonesia

A. Pendahuluan

Indonesia adalah negara agraris, terbukti dengan kepemilikan tanah yang subur dan mayoritas penduduknya bertani. Republik ini juga terkenal akan sumber daya alamnya yang melimpah, bahkan hingga melampaui batas usaha-usaha pengelolaannya. Dalam konteks keagrarisannya tersebut, tanah merupakan sesuatu yang sangat bernilai tidak hanya dalam konteks ekonomi, namun juga dalam bidang yang lain. Dalam bidang budaya, ungkapan sadumuk bathuk sanyari bumi,ditohi pecahing dodo wutahing ludiro (Jawa) mengisyaratkan bahwa tanah sekecil apapun tetap bernilai dan akan dipertahankan sebagai sebuah kepemilikan yang luhur. Ditinjau dari aspek sosiologis, tanah juga dapat mencerminkan status sosial di sebuah masyarakat, di mana seseorang yang memiliki tanah luas (tuan tanah) mendapat kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang hanya memiliki tanah sempit atau bahkan tidak memiliki sama sekali (buruh tani). Bahwa polarisasi dan eksploitasi ekonomi (tanah) menekan struktur sosial yang ada, legitimasi bergeser dari struktur adat ke struktur penguasaan tanah.[1]

Di pedesaan Jawa, terjadi polarisasi penguasaan tanah. Hal ini dimungkinkan karena tradisi pedesaan Jawa yang menempatkan pendiri desa adalah orang atau keluarga yang pertama kali melakukan babat alas sebagai awal membuka desa. Orang atau keluarga yangmembuka desa biasanya dijadikan pemimpin dan sebagai kompensasinya yakni mendapat luas tanah yang lebih luas dari rakyat biasa. Polarisasi penguasaan tanah selain disebabkan faktor tersebut, juga disebabkan oleh faktor alih kepemilikan ataupun penguasaan tanah dengan jalan jual beli atau sewa menyewa. Polarisasi juga terjadi akibat ekspansi kolonial negara-negara dan perusahaan swasta asing atas sumber kekayaan agraria di Indonesia sepanjang sejarah perjalanannya. Kolonialisme yang terjadi sejak awal abad 17 hingga paruh ke dua abad 20 membuat tatanan agraria tradisional semakin kacau dan meruncingkan kesenjangan tata kuasa tanah.

Polarisasi kepemilikan, penguasaan, dan pengusahaan tanah menuai anak kandungnya yakni kesenjangan akses terhadap sumber daya agraria khususnya tanah. Muncul apa yang kemudian disebut tuan tanah dan apa yang kemudian disebut petani penyakap. Kesenjangan ini berujung pada munculnya konflik agraria. Sebagai sebuah ilustrasi, dokumen pencatatan pelanggaran HAM yang diterbitkan oleh YAPUSHAM edisi 10/11/97 mencatat, sepanjang 27 (dua puluh tujuh) bulan sejak Juli 1994 hingga September 1996 ada 891 (delapan ratus sembilan puluh satu) pelanggaran HAM yang berupa penyitaan dan perampasan lahan melalui berbagai cara. Menurut Fauzi (1999) meskipun jenis sengketa tanah yang terjadi pada masa itu bervariasi, mayoritas adalah sengketa antara modal besar dengan rakyat penguasa tanah dan pembangunan infrastruktur milik pemerintah versus rakyat penguasa tanah.

Kesenjangan penguasaan tanah membuahkan konflik agraria yang berujung pada pelanggaran HAM sebenarnya semakin memperparah kemiskinan penduduk pedesaan. Hal ini juga berdampak langsung terhadap perekonomian nasional Republik ini. Beberapa alasan dapat disebutkan: pertama 70% penduduk Indonesia adalah petani dan tinggal di desa, (ii) Desa adalah basis utama dari pasar komoditi industri, ketika masyarakat desa miskin, maka daya beli menjadi rendah, (iii) Dengan kondisi sosial yang tidak kondusif dan penuh konflik, investasi asing enggan masuk karena pertimbangan cost recovery yang tinggi. Pengangguran akan meningkat drastis seiring dengan tidak adanya lahan pertanian di desa dan tidak adaya lapangan kerja di kota akibat rendahnya investasi.

Masa kepemimpinan populis orde lama telah membuat Undang-undang No. 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil dan Undang-undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960. Kedua undang-undang tesebut sebagai produk hukum untuk mengatasi realitas dualisme hukum agraria. Pada saat itu, Indonesia masih menggunakan undang-undang agraria kolonial Belanda, kemudian di sisi lain peraturan adat juga berlaku di level masyarakat. Senyatanya kedua undang-undang tersebut bermaksud mengakhiri dualime hukum kolonial dan adat, demi keadilan agraria bagi rakyat Indonesia. Perdebatan soal agraria kembali mencuat ketika republik ini memasuki era reformasi 1998. Tuntutan atas penyelesaian konflik agraria melalui pelaksanaan agenda Land reform marak didengungkan. Relevansi pelaksanaan Land reform menuai titik nadirnya ketika konflik agraria akhir-akhir ini tereskalasi.

B. Land reform di Indonesia, Sebuah Perjalanan Sejarah

1. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)

Warisan feodal dan kolonial telah membuat struktur agraria Indonesia menjadi timpang. Indonesia sebagai sebuah negara yang baru berdiri, bermaksud merombak susunan agraria nasional, berikut produk-produk hukumnya. Dalam aturan peralihan UUD 1945 pasal 2 disebutkan bahwa “sepanjang badan kekuasaan dan peraturan-peraturan belum diganti dengan yang baru masih tetap berlaku”. Artinya undang-undang agraria kolonial (Agraris wet , Domein-verklaring, Algemene Domeienverklaring, Koninkljk Besluit) masih tetap berlaku, sepanjang pemerintah Indonesia belum membuat peraturan perundangan yang baru. Oleh para pakar hukum pada saat itu, undang-undang kolonial dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia, undang-undang kolonial menciptakan dualime hukum, dan falsafah hukum barat yang liberal kapitalis tidak sesuai dengan falsafah masyarakat Indonesia. Berkaitan dengan hal itu, maka perlu menyelenggarakan tata hukum baru yang menghapus kepentingan feodal dan kapitalis menuju penegakan kepentingan rakyat, pemberlakukan satu hukum nasional, dan rumusan hukum yang berdasarkan nilai-nilai kehidupan sosial bangsa Indonesia.[2]

Pergulatan pembuatan produk hukum agraria nasional diawali tahun 1948 dengan dibentuknya panitia agraria Jogja, seiring dengan berpindahnya ibu kota negara ke Jakarta, maka panitia agraria Jogja dibubarkan dan dibentuklah panitia agraria Jakarta tahun 1951 dengan ketua yang sama yakni Sarimin Reksodihardjo. Selanjutnya dikenal panitia agraria Soewahjo, panitia agraria Soenarjo, sampai rancangan Sadjarwo. Rancangan UUPA yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong akhirnya disahkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 24 September 1960. Peraturan-peraturan hukum kolonial yang dicabut antara lain Agrarische Wet, Domein-verklaring, Algemene Domeienverklaring, Koninkljk Besluit serta Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata, khususnya mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan Hypotheek.

UUPA memiliki anatomi sebagai berikut: Pertama Konversi, artinya merubah tata kuasa, tata kelola, dan tata guna tanah sesuai dengan hukum agraria yang baru (UUPA). Konversi lebih ditekankan pada tanah yang dulu di atasnya terdapat hak swasta asing. Kedua Pendaftaran Tanah dengan tujuan untuk pengukuran, pemetaan, dan pemberian tanda bukti hak. Pendaftaran tanah dimaksudkan sebagai pendataan untuk selanjutnya sebagai pijakan data dalam pelaksanaan Land reform. Ketiga Land reform; meliputi pembatasan luas maksimal kepemilikan tanah, obyek Land reform, subyek Land reform, UU Perjanjian Bagi Hasil, dan Organisasi Pelaksana.[3]

2. Land reform Orde Sukarno dan Reduksi Wacana ala Orde Suharto

Pelaksanaan Land reform masa Sukarno dimulai tahun 24 september 1962 hingga 1965. Namun, panitia Land reform nasional telah mulai bekerja sejak tahun 1961 sebagai tahap awal persiapan. Dalam masa itu, telah dibentuk alat negara sebagai pelaksana Land reform, berjenjang secara hierarkis mulai dari Menteri agraria, panitia agraria nasional hingga panitia agraria level desa. Untuk menyelesaikan urusan peradilan, maka dibentuk juga peradilan Land reform. Tiga kegiatan yang direncanakan dalam konteks Land reform adalah (a) pendaftaran tanah; (b) penentuan tanah lebih serta pembagiannya kepada sebanyak mungkin petani tidak bertanah; (c) pelaksanaan UUPBH.

Pendaftaran tanah dimulai dengan dasar hukum PP No. 10/1961. Dari hasil pendaftaran dan pengukuran inilah tanah-tanah obyek Land reform ditetapkan, sesuai PP No. 224/1961. Pembagian tanah kelebihan dilakukan dalam dua tahap. Tahap Pertama meliputi wilayah Jawa, Madura, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Tahap ini dijadwalkan selesai akhir tahun 1963. Tahap kedua meliputi wilayah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau yang lain. Di akhir Desember 1964 pembagian tanah-tanah kelebihan di wilayah tahap I telah diselesaikan. Sedangkan untuk wilayah tahap II baru sebagian. Menteri agraria melaporkan pada tanggal 14 Januari 1965, bahwa hingga akhir 1964 pembagian tanah-tanah kelebihan dapat dirinci sebagai berikut:[4]

Tahap I

Tanah Kelebihan

Tanah yang telah dibagikan

337,445 ha

296,566 ha

Tahap II

Tanah yang telah dibagikan

152,502 ha

Menurut Utrecht (1969, dalam Fauzi 1999) sejak program Land reform dicanangkan, hingga akhir 1964 sekitar 450,000 ha tanah telah dibagikan. Program Land reform yang dijalankan pada pemerintahan Sukarno ternyata diwarnai nuansa konflik di tubuh elit negara dan sekaligus merembet ke massa rakyat. Menyusul peristiwa penculikan 7 perwira tinggi angkatan darat di Jakarta pada 30 September 1965, setelahnya dalam tiga bulan berturut-turut terjadi pembantaian 400-1 juta masyarakat desa yang dituduh terlibat dalam PKI dan gerakan 30 september. Pecahnya tragedi kemanusiaan tersebut membawa implikasi pada konstelasi politik nasional Indonesia, dan sekaligus berimbas pada eksistensi pelaksanaan Land reform. Mengingat sesudahnya, Land reform kemudian dikaitkan dengan PKI yang tuduh sebagai dalam dari peristiwa 30 september.

Menurut Fauzi (1999) pelaksanaan Land reform gagal karena menemui dinamika sebagai berikut:

1. Kelambanan praktek-praktek pemerintah melaksanakan hak menguasai negara;

2. Tuntutan (organisasi) massa petani yang ingin mendistribusikan tanah secara segera, sehingga menimbulkan aksi sepihak;

3. Unsur-unsur anti-Land reform melakukan pelbagai mobilisasi kekuatan tandingan dan siasat mengelak bahkan menggagalkan Land reform ;

4. Terlibatnya kekerasan antar unsur pro-Land reform dengan unsur anti-Land reform yang merupakan pelebaran dari konflik kekerasan pada tingkat elit negara.[5]

Perubahan tampuk kepemimpinan negeri dari Sukarno ke Suharto, menyusul pembubaran Partai Komunis Indonesia di akir tahun 1965, ternyata merubah pula strategi kebijakan nasional dalam berbagai sendi, tanpa terkecuali termasuk kebijakan politik agraria nasional. Perubahan-perubahan dalam politik agraria nasional oleh Fauzi dijabarkan menjadi 5 (lima): Pertama menjadikan masalah Land reform hanya sebagai masalah teknis belaka, kementrian agraria diturunkan hanya di level dirjen, UUPA bukan lagi sebagai induk perundangan agraria menyusul dikeluarkannya undang-undang sektoral (PMA UU 1/1967, Kehutanan UU 5/1967, Pertambangan 11/1967, Pengairan 1/1974). Kedua penghapusan partisipasi organisasi massa tani dalam agenda Land reform. Ketiga penerapan floating mass (kebijakan massa mengambang) yakni memotong hubungan partai politik dengan massa pedesaan. Keempat penghilangan dinamikasi desa melalui pengundangan UUPD tahun 1979. Kelima spionase dinamika pembangunan desa oleh polisi dan militer.[6]

Kapitalisme di dunia agraria segera dimulai. Pemerintah orde baru secara tidak langsung memanfaatkan Hak Menguasai Negara (HMN) yang memang telah diatur dalam UUPA secara tidak benar. Desain awal HMN adalah untuk melindungi kepentingan rakyat melalui kuasa negara atas ancaman dari swasta asing. Tetapi HMN masa orde baru direduksi, Hak Menguasai Negara dijadikan legaliasasi atas perampasan tanah-tanah rakyat untuk kepentingan proyek-proyek pembangunan.

“…konsep politik hukum HMN (Hak Menguasai Negara) – sebagai kekuasaan tertinggi yang bisa dilekatkan atas tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya – tetap dianut dan dijadikan dasar legitimasi pelbagai unjuk kekuasaan dalam pengadaan tanah untuk proyek-proyek pembangunan, walaupun beresiko terhadap hilangnya pemenuhan etika “sebesar-besar kemakmuran rakyat”[7]

Tiga program pembangunan kapitalisme pada sektor agraria masa orde baru adalah (1) Program revolusi hijau: di satu sisi produksi padi meningkat, tapi di sisi lain kualitas kesuburan tanah menurun akibat asupan unsur kimia yang berlebihan lewat pupuk dan obat; (2) eksploitasi hutan: definisi atas hutan didominasi oleh negara, terjadi konflik antara pengusaha hutan dengan masyarakat adat/sekitar hutan; (3) pengembangan agro-industri: pengembangan PIR sawit, karet, dll, yang berujung pada konversi / alih fungsi hutan. Ketiga program andalan orde baru mendapat dukungan penuh dari lembaga moneter internasional layaknya Bank Dunia, IMF, dan IGGI.

C. Relevansi Agenda Land reform di Indonesia Sekarang

Penilikan atas realitas sejarah bangsa Indonesia semestinya membawa kita pada simpul pembelajaran atas keberhasilan sekaligus kegagalan – pun dalam urusan politik agraria. Latar historis feodal dan kolonial bangsa Indonesia telah memberikan realitas struktur agraria yang timpang, untuk tidak menyebut tidak adil. Seiring kemerdekaan republik ini telah kita raih pada tahun 1945, penaatan ulang struktur agraria menjadi sebuah keniscayaan bagi pemerintahan Sukarno untuk dilakukan. Dengan dikeluarkannya UUPA dan UUPBH tahun 1960 telah menjadi pijakan yuridis atas pelaksanaan tata ulang struktur agraria Indonesia. Pelaksanaan Land reform pada tahun 1962 – 1965 telah mendistribusikan 450 ribu hektar tanah kelebihan kepada petani tak bertanah. Lepas dari pada itu, UUPA dan UUPBH telah menjadi titik awal dari daulat hukum agraria atas potensi sumber daya agraria di negeri sendiri. Melepaskan diri dari politik hukum kolonial dan pengaturan hukum adat. Tidak berlanjutnya pelaksanaan Land reform di akhir tahun 1965 dikarenakan perubahan konstelasi politik nasional kala itu.

Pemerintahan Orde baru memberikan pemaknaan beda sekaligus sengaja mereduksi atau bahkan merubahnya sama sekali terhadap semangat dan pelaksanaan UUPA. Politik agraria yang populis kemudian dirobak menjadi politik agraria yang “berkawan” dengan liberal kapitalis. Hal tersebut kemudian berimplikasi pada semakin mengemukannya konflik agraria dewasa ini, seiring dengan semakin tingginya angka kemiskinan dan tingkat pengangguran. Beberapa kalangan penggiat agraria melihat bahwa agenda Land reform di era reformasi sekarang mendesak untuk segera dikemukakan. Belajar dari kesalahan masa lalu, kebijakan agraria yang bergantung pada kemauan Negara (c.q. pemerintah) ternyata tidak menjamin keberlangsungan pelaksanaan agenda Land reform. Ketika transisi kekuasaan terjadi pada dekade enam puluhan, pelaksanaan Land reform terhenti menyusul stigmatiasi dan pengaitan Land reform dengan Partai Komunis Indonesia.

Wacana baru berkembang atas aktor utama dalam perencanaan dan pelaksanaan Land reform. Karena rakyat petani yang membutuhkan tanah-lah yang berkepentingan secara langsung atas urgensi pelaksanaan Land reform ini, maka penguatan massa tani menjadi mutlak diperlukan. Belakangan dikenal istilah Land reform by-laverage yang mensyaratkan kekuatan massa tani sebagai basis utama atas inisiatif dan pelaksana Land reform. Berikut tulisan Gunawan Wiradi atas wacana Land reform by-laverage tersebut:

Pembaruan agraria tetap diperlukan, asal filsafat paternalisme ditinggalkan. Sekarang ini hampir semua pembaruan agraria didasarkan atas kedermawaan pemerintah, sehingga begitu minat pemerintah berubah (demi kepentingannya), maka habislah hasil-hasil positif yang mungkin pernah dicapai oleh pembaruan agraria. Memang diakui, ada suatu pemerintahan yang dengan tulus dan jujur melakukan pembaruan agraria demi rakyat banyak. Namun, begitu pemerintahan tersebut berganti, elit penguasa yang baru dapat berganti haluan, dan membalikkan keadaan. Bahkan, sekalipun pembaruan agraria itu lahir dari sebuah revolusi, seperti misalnya Meksiko. Kedermawaan pemerintah itulah yang oleh Powelson dan Stock disebut dengan istilah “reform by-grace”. Pembaruan demikian tidak “sustainable”, karena bergantung pada “pasar politik” menurut istilah Yushiro Hayami.

……. Dengan demikian, yang diperlukan adalah pembaruan yang didasarkan atas pemberdayaan rakyat. Atau menurut istilah Powelson dan Stock: “Land reform by-laverage”. Dalam kondisi “pasar politik” yang bagaimanapun, jika posisi petani/rakyat kecil kuat, maka hasil-hasil pembaruan sebelumnya tidak begitu saja mudah dibalikkan.

……. Pembaruan agraria merupakan perjuangan yang terus menerus, berkelanjutan, yang setiap langkahnya ke depan perlu di bentengi ……. terutama terhadap kekuatan pasar bebas yang semakin meningkat yang lahir dari kegiatan yang semakin meluas dari TNC …….

……. pembaruan agraria “by-laverage” bukan merupakan program hitam-putih yang dapat direalisir dalam satu malam. Ia merupakan proses yang memerlukan waktu. Sebab, bagaimanapun, pembaruan agraria, seperti juga pembaruan-pembaruan lainnya tetap memerlukan kekuasaan. Namun, agar rakyat tidak “terkhianati”, maka pemberdayaan politik dari bawah perlu dikembangkan ……. Posisi tawar yang kuat dari rakyat akan dapat mendesakkan aspirasinya untuk dituangkan dalam kebijakan-kebijakan pembaruan.[8]

Kembali menilik dari kegagalan masa lalu, pra kondisi yang harus dipersiapkan sebagai sebuah rekomendasi, mengutip Andik Hardianto[9] adalah sebagai berikut:

a) Pembatasan operasional Hak Menguasai Negara. Pembatasan itu sangat diperlukan karena rasional operasionalisasi HMN saat ini terbukti banyak merugikan kepentingan rakyat, menghasilkan ketimpangan struktur agraria dan bahkan mencerabut akar budaya asli rakyat. Maka revisi UUPA 1960 dengan konsentrasi pasal HMN ini perlu dilakukan.

b) Penguatan pasal-pasal UUPA 1960 yang berkait dengan Land reform dalam bentuk evaluasi kembali peraturan perundang-undangan pelaksanaan Land reform agar dapat dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan konteks saat ini dan masa mendatang. Ini harus dilakukan karena ternyata peraturan perundang-undangan Land reform yang ada sekarang ternyata tidak sesuai dengan tuntutan pasal-pasal induknya dalam UUPA. Seperti penentuan luas batas maksimum tidak diberlakukan terhadap tanah-tanah yang dikuasai oleh badan hukum (pasal 1 huruf d Peraturan Pemerintah nomor 224 tahun 1961) jelas bertentangan dengan pasal 7 juncto 17 UUPA yang tidak memberlakukan perkecualian bagi penguasaan tanah oleh badan hukum. Ini berarti pula perlu dilakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan Land reform untuk kesesuaian dan kebutuhan saat ini dan mendatang.

c) Perlunya jaminan hukum yang memadai untuk hak-hak rakyat atas sumber-sumber agraria yang berasal dari hukum adat. Misalnya, peraturan perundang-undangan yang mengatur hak milik dan cara-cara perolehan hak milik dengan cara-cara hukum adat adalah sangat mendesak di adakan. Di sini menjadi penting untuk dikeluarkannya Undang-undang Hak Milik atas Tanah.

d) Selain obyek Land reform yang diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1961, tanah HGU perkebunan merupakan potensial obyektif Land reform mengingat banyaknya pelanggaran atas penggunaan hak ini (tidak dikerjakan sendiri, terlantar, dan waktu lama serta sangat luas) dan dalam banyak kasus menjadi sumber sengketa di pedesaan.

e) Pelaksanaan gagasan Land reform harus betul-betul merupakan kebutuhan dan kepentingan petani kecil. Tanpa melewati proses itu, maka yang terjadi adalah manipulasi politik yang sangat kotor. Land reform by-laverage sesungguhnya menuntut proses pendidikan kritis dan pengorganisasian petani di mana organisasi non-pemerintah (Ornop) sebagai fasilitator bagi petani, dan bukannya sebagai sumber gagasan bagi petani.


D. Penutup

Fauzi mengutip Wiradi, membedakan tiga unsur strategis agraria yakni (a) penguasaan tanah; (b) tenaga kerja; (c) tanggungJawab atau pengambilan keputusan atas produksi, akumulasi, dan investasi. Ketiga ciri ini dapat diukur dalam tiga jenis strategi agraria; kapitalis, sosialis, dan populis.[10]

Unsur Strategis Agraria

Jenis Strategi Agraria

Kapitalis

Sosialis

Populis

Penguasaan Tanah

Individu non-Penggarap

Negara an. Pekerja

Keluarga Petani

Tenaga Kerja

Pekerja Upahan (buruh bebas)

Pekerja yang diorganisir

Keluarga Petani

Tanggungjawab Produksi, Akumulasi, dan Investasi

Individu non-Penggarap

Negara an. Pekerja

Keluarga petani yang diorganisir melalui Koperasi

Berdasar tabel di atas, masa orde baru kita telah merasakan bagaimana strategi agraria kapitalis dijalankan. Dimana penguasa tanah kebanyakan individu non penggarap misalnya pemegang HPH, kemudian memakai pekerja upahan sebagai tenaga kerja penggarap, pun tanggungJawab produksi, akumulasi, dan investasi dilakukan oleh individu non-penggarap. Strategi agraria yang coba dijalankan oleh pemerintahan orde lama berada di persimpangan antara sosialis dan populis. Hak Menguasai Negara di UUPA menempatkan negara sebagai penguasa tertinggi atas tanah, walaupun negara mewakili kedaulatan rakyat Indonesia. Tetapi di sisi lain, Pemerintah orde lama juga mendorong berkembangnya koperasi keluarga petani untuk berinvestasi sekaligus melakukan akumulasi modal bersama. Melihat tabel di atas, kiranya kita memilah-milah jenis strategi agraria yang mana yang ke depan akan kita jalankan. Apakah Kapitalis, Sosialis, ataukah Populis? Menurut saya, ke depan, jenis strategi yang cocok untuk kebijakan agraria Indonesia adalah strategi agraria populis. Di mana keluarga petani diberikan kuasa atas aset produksi pertanian dengan di dorong oleh usaha bersama yang berwujud koperasi. Pemerintah memberikan andil dalam usaha fasilitasi modal dan ketrampilan.

Adalah penting dipahami di sini bahwa meskipun dengan berbagai bahasa politik dan retorika ideologi, Land reform senyatanya hanya sebuah bahasa sederhana tentang hakekat petani, yaitu petani perlu dan mutlak membutuhkan tanah bagi kehidupannya. Dikarenakan petani adalah sebuah kelompok masyarakat yang besar jumlahnya, berarti strategi ini berbicara mengenai kesejahteraan sebagian besar dari masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Amaluddin, Moh (1987), Kemiskinan dan Polarisasi Sosial : Studi Kasus di Desa Bulugede, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Jakarta: UI-Press

Fauzi, Nur (1999), Petani & Penguasa : Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Yogyakarta: Insist, KPA bekerjasama dengan Pustaka Pelajar.

_________ (2003), Bersaksi Untuk Pembaruan Agraria : Dari Tuntutan Lokal Hingga Kecenderungan Global, Yogyakarta: Insist Press bekerja sama dengan KPA dan KARSA.

Hardiyanto, Andik (1998), Agenda Land Reform di Indonesia Sekarang, Bandung: KPA bekerja sama dengan INPI-Pact.

Lion, Margo L. (1984), “Dasar-dasar Konflik di Daerah Pedasaan Jawa”, dalam Dua Abad Penguasaan Tanah : Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (eds.), Jakarta: YOI, halaman 168-236.



[1] Lihat Lyon “Dasar-dasar Konflik di Pedesaan Jawa”, di dalam SMP Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Eds.), Dua Abad Penguasaan Tanah : Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, 1984) hal. 169. Secara ringkas, pembicaraan mengenai keterkaitan antara polarisasi ekonomi dan polarisasi sosial serta manifestasinya dalam struktur kelas di pedasaan Jawa dapat di lihat di Moh. Amaluddin “Kemiskinan dan Polarisasi Sosial” (Jakarta: UI Press, 1987) hal 20-28.

[2] Lihat Nur Fauzi. 1999. Petani dan Penguasa : Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Jogjakarta: Insist, KPA bekerja sama dengan Pustaka Pelajar. Hal. 54-55.

[3] Ibid. Hal. 78 -119

[4] Ibid. Hal. 140-147.

[5] Ibid. Hal. 124

[6] Ibid. Hal. 124

[7] Andik Hardiyanto. 1998. Agenda Land reform di Indonesia Sekarang. Bandung: Konsorsium Pembaruan Agraria. Hal. xii

[8] Tulisan Gunawan Wiradi dalam Dianto Bachriadi (dkk). 1997. Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI dan KPA. Yang dikutip oleh Nur Fauzi . 2003. Bersaksi untuk Pembaharuan Agraria. Jogjakarta: Insist Press bekerjasama dengan KPA dan KARSA. Hal. 48-49

[9] Andik Hardiyanto. Op. Cit. Hal. 96-97

[10] Lihat Nur Fauzi. 2003. Bersaksi untuk Pembaharuan Agraria. Jogjakarta: Insist Press bekerjasama dengan KPA dan KARSA. Hal. 17-18. Terkait dengan tabel di atas, penulis mengambilnya dari buku yang sama.

2 komentar:

SELAMI mengatakan...

soal agraria sebenarnya menarik, tapi mengapa hanya sedikit yang berminat.

Gia mengatakan...

Mungkin karena faktor yang ditekankan hanya petani? dan menannam dan sawah?