Selasa, 01 Juli 2008

The New Ruler of Cepu

Dikeluarkannya PP No. 2 tahun 2008 tentang ijin pengalihfungsian hutan menjadi area tambang dengan tarif Rp.120–Rp.300/m2/tahun sangat menguntungkan sektor tambang di satu sisi, dan semakin merampungkan perusakan lingkungan kita di sisi lain. 1 m2 hutan lindung lebih murah dari sebiji pisang goreng (Kompas 20/2/2008). Ironisnya dua bulan lalu kita menjadi tuan rumah konferensi PBB tentang Climer Change dan Global Warming. Hal ini kemudian menumbuhkan kembali refleksi atas posisi perusahaan pertambangan asing di Republik ini. Pertanyaan yang segera diajukan adalah apakah benar industri pertambangan mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat?

Sejak Republik ini berganti haluan dari rezim Sukarno ke rezim Suharto, konstalasi kebijakan terhadap modal asing berganti sama sekali. Pada tahun 1967 Perusahan Timeline mengadakan sebuah pertemuan di Swiss yang dihadiri oleh pengusaha-pengusaha besar seperti David Rockefeler. Tujuan pertemuan tersebut adalah membagi sektor-sektor eksploitasi di bumi Indonesia kepada semua perusahaan asing. Pantas saja, sepulangnya delegasi Indonesia dari Swiss lalu membuat UU No. 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing sebagai unsur legalitas atas ekspansi besar-besaran perusahaan asing di Indonesia. Salah satu perusahaan besar dunia yang datang ke Indonesia adalah ExxonMobil.

Saat ini ada 154 perusahan tambang sedang melakukan ekplorasi di Republik ini. Penelitian Price Waterhause Cooper (Pwc) tentang pengeluaran dan belanja 12 perusahaan pertambangan besar di Indonesia sepanjang kurun waktu 1994-1998 menunjukkan 95,3% adalah belanja impor. Artinya dari total pengeluaran dan belanja hampir seluruhnya kembali ke kantong negara asal perusahaan. Sisanya sebesar 4,7% yang dibelanjakan di dalam negeri[1]. Ladang pertambangan; 92% dikuasai oleh Perusahaan Asing, 8% sisanya dikelola putra bangsa.

Bagaimanakah dengan ExxonMobil? Bagi para aktivis lingkungan dan HAM, ExxonMobil beserta anak perusahaannya memiliki catatan buruk dalam usaha eksplorasinya. Di berbagai negara berkembang, ExxonMobil telah melakukan pelanggaran HAM, Perusakan lingkungan, memperparah pemanasan global, dan meningkatkan tingkat kerawanan masyarakat sekitar terhadap serangan penyakit (lihat www.stopexxonmobil.com).

Di Indonesia, ExxonMobil memulai ladang tambangnya di Aceh. Selama kurun waktu 4 tahun terakhir, Blok Cepu marak diperbincangkan publik. Tahun 2006, Pertamina gagal merebut posisi sebagai General Manager di Blok Cepu, dan ExxonMobil memenangkannya. Potensi kandungan minyak Cepu sangat besar; 20.000 barel minyak per hari. Apabila asumsi harga minyak dunia 110 dollar AS (Rp.1.001.000) dan kurs dolar Rp.9100, maka harga 20000 barrel minyak perhari adalah Rp.20,02 milyar. Jadi setiap hari hasil dari Blok Cepu adalah Rp.20,02 milyar[2]. Itu baru asumsi minimal. Apakah uang sebesar itu untuk rakyat?

Ternyata tidak. Pembagian keuntungan adalah 45% untuk ExxonMobil, 45% untuk Pertamina, dan hanya 2,18% untuk Pemerintah Blora, sisanya dibagi ke Pemda Jawa Tengah, Pemda Jawa Timur, dan Pemda Bojonegoro. Tapi itu adalah pembagian keuntungan dari harga minyak mentah. Bayangkan berapa besar keuntungan yang diperoleh ExxonMobil apabila itu telah diolah menjadi bahan bakar jadi (karena Pertamina belum mampu mengolah).

Kembali ke pertanyaan awal, sebenarnya siapa yang diuntungkan dari eksplorasi pertambangan di bumi pertiwi ini? Saya jamin bukan rakyat.



[1] Lihat Majalah Warta edisi Februari 2006. atau www.kehutananmasyarakat.com

[2] Kompas, 26/2 2008 hal H

1 komentar:

SELAMI mengatakan...

ra ono sik koment to haghag