Rabu, 02 Juli 2008

Globalisasi vs Lingkungan

GLOBALISASI vs LINGKUNGAN:

Menilik Alternatif Pembangunan Berkelanjutan

Apakah ada hubungan antara kerusakan lingkungan dengan globalisasi? Jika salah satu bidang globalisasi adalah ekonomi yang mensyaratkan adanya produksi, eksplorasi, dan akumulasi, dan di sisi lain ekologi mensyaratkan adanya kelestarian dan keseimbangan alam, pertanyaannya apakah konsep dan praksis ekonomi dan ekologi bisa berjalan beriringan?

Seiring dengan kondisi dunia saat ini yang mengalami kecenderungan perubahan iklim dan pemanasan global, konteks ekologi menjadi marak diperbincangkan dalam ranah kebijakan internasional. Beberapa serial pertemuan dilakukan demi membicarakan hal kelestarian alam dilakukan mulai dari komisi Bruntland 1972, Rio de Jenero, Brazil 1992, EarthSummit Afsel 2002, UNFCCC Cop 3, 1997 menghasilkan Protokol Kyoto, UNFCCC COP 11, 2005 menghasilakan RED (Reducing Emmisions from Deforestation), hingga Konfrensi Bali desember tahun lalu yang berbicara soal REDD (Reducing Emmisions from Deforestation and Degradation).

Logika akumulasi dan logika keberlanjutan (sustainable) hendak ditinjau ulang atas relasi keduanya, seiring krisis lingkungan semakin menemui titik klimaks. Hal ini diakibatkan bahwa selama ini logika akumulasi lebih mendominasi logika ekologi yang mensyaratkan keberlanjutan alam. Pada kenyataannya perkembangan ekonomi dengan pemicu industrialiasasi segala bidang telah memporakporandakan keseimbangan alam dan rusaknya ekosistem yang menyertainya.


A. Globalisasi

Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias.[1] Globalisasi adalah proses menyatunya dunia dengan ditandai oleh lahirnya berbagai lembaga dan sistem yang berlaku bagi semua bangsa. Tak lain dan tak bukan, yang dimaksud sistem di atas adalah sistem perdagangan bebas. Lembaga yang dibentuk dimaksudkan untuk mendukung sepenuhnya sistem free trade tersebut. Lembaga-lembaga pendukung perdagangan bebas tersebut antara lain misalnya Bank Dunia, Lembaga Moneter Internasional, dan Perserikatan Bangsa Bangsa.

Globalisasi mencakupi segala bidang kehidupan, sosial, budaya, politik, ekonomi. Sebagai globalisasi ekonomi dapat diajukan 2 (dua) pengertian: pertama penghapusan berbagai hambatan perdagangan untuk mewujudkan perdagangan bebas yang memperkuat integrasi ekonomi antar negara. Kedua sebagai penyatuan yang semakin dekat antar negara-negara dan masyarakat di dunia yang disebabkan oleh penurunan yang besar dari biaya transportasi dan komunikasi, dan dihapuskannya berbagai penghalang artifisial bagi arus, barang, jasa, modal, pengetahuan, dan lintas batas manusia.[2] Globalisasi mengandaikan dunia tanpa batasan-batasan negara, demi kelancaran pemasaran produk pasar negara-negara maju.

Perjalanan panjang dunia ini semakin meng-global memiliki 3 tahapan perjalanan: pertama muncul revolusi industri di Inggis pada akhir abad 18. Meningkatnya teknologi transportasi dan menurunnya hambatan perdagangan internasional dan investasi, mendorong negara-negara amerika utara dan Eropa mengembangkan perdagangannya ke berbagai negara. Kedua tahun 1950-1980 ditandai oleh intergrasi negara-negara kaya USA, Eropa, dan Jepang. Sejak saat itu, muncul gap antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin. Ketiga tahun 1980-an sampai sekarang ditandai oleh kemajuan teknologi transportasi, komunikasi. Negara berkembang membuka diri terhadap perdagangan internasional dan investasi asing, hasil washington consensus.

Setelah perang dunia berakhir menyusul kekalahan koalisi Jepang oleh sekutu menciptakan realitas kehancuran negara-negara bekas perang. Amerika sebagai pihak yang menang menanggung beban perbaikan yang luar biasa, sehingga pada saat itu juga amerika menjadi penguasa baru dunia. Amerika harus menjamin bahwa tidak akan ada perang lagi, merubah wajah Jepang, membangkitkan ekonomi Eropa, dan mengurusi konflik antara negara eks Jajahan dan Eropa. Amerika menawarkan modernisasi ke semua negara. Peningkatan produksi dan perdagangan melalui teknologi modern kemudian dipasarkan ke negara-negara dunia ke tiga. Hembusan yang mensyaratkan modernisasi di segala bidang sebagai satu-satunya jalan menuju peradaban dunia ketiga yang lebih baik segera dilakukan.


B. Pembangunan

Konsep Pembangunan (developtment) merupakan bagian dari skenario modernisasi dalam konteks globalisasi. Setelah perang dunia II (1939-1945) berakhir, dunia mengalami perubahan yang drastis. Paling tidak terdapat 3 (tiga) kondisi yang terjadi: (1) Eropa mengalami kehancuran: infrastruktur rusak, ekonomi macet karena modal habis untuk perang; (2) Negara jajahan Eropa satu demi satu memerdekakan diri; (3) Amerika Serikat yang sebelumnya menutup diri dan tidak mau terlibat politik dunia dipaksa keadaan untuk menjadi pemimpin dunia menggantikan Inggris.[3] Wacana pembangunan mulai populer setelah perang dunia II berakhir. Ketika Amerika Serikat mulai menjadi pemimpin dunia, Presiden Amerika Harry S. Truman menawarkannya sebagai resep baru untuk mengatasi keterbelakangan negara-negara selatan (bekas jajahan Eropa) dan untuk memperbaiki wilayah Eropa dan asia pasca perang dunia II. Saat itu Amerika berada pada posisi pemenang secara politis (adidaya) maupun secara posisi unggul peradabannya (adibudaya). Dalam pidato kenegaraannya Truman dengan nada propaganda mengatakan:

“We must embark on a bold new paradigm for making the benefits of our scientific advances and industrial progress available for the improvement and growth of underdeveloped areas.”[4]

Guna mendukung gagasan pembangunan maka, atas prakarsa Amerika, dibentuklah lembaga-lembaga level internasional seperti United Nations, International Monetery Found, Word Bank, dan World Trade Organization. Lalu lintas politik dan pertahanan diatur oleh negara adidaya melalui Perserikatan Bangsa Bangsa, sedangkan urusan keuangan diatur melalui kedua lembaga keuangan tersebut (IMF dan Word Bank), untuk urusan ekonomi diserahkan pada WTO Selanjutnya dibentuk pula instrumen-instrumen berdasar wilayah perdagangan, misalnya: APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) yang dimotori oleh Australia, Amerika, Kanada; NAFTA (North American Free Trade Area); AFTA (Asean Free Trade Area).

Wacana pembangunan secara sistematis disebarkan ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia. Wacana ini dianggap sebagai resep mutakhir untuk negara eks jajahan dalam masa transisinya dari dekolonisasi menuju demokrasi. Pada tahun 1950-an, banyak pemuda Indonesia yang mendapat beasiswa belajar di Amerika Serikat. Sepulangnya dari Amerika, kemudian menyebarkan gagasan pembangunan tersebut ke Indonesia sekaligus menerapkannya. Para pemuda yang belajar di Amerika tersebut pada akhirnya akan menjadi agen pembangunan pada pemerintahan orde baru. Penyebaran gagasan pembangunan lewat pendidikan hanyalah salah satu strategi saja. Strategi yang lain adalah melalui program bantuan yang sebenarnya merupakan hutang luar negeri, dan tranfer tehnologi yang lebih mirip relokasi industri kotor dan tidak efisien lagi.[5]

Para ahli anti wacana pembangunan menemui kesan bahwa pembangunan modernisasi negara maju yang begitu saja diterapkan di negara-negara berkembang terkesan dipaksakan. Gustavo Esteva salah satu pengkritik asal amerika latin melihat bahwa keterbelakangan yang ditudingkan oleh negara maju terhadap negara-negara berkembang justru diakibatkan oleh wacana pembangunan itu sendiri. Bahwa keterbelakangan negara-negara dunia ketiga akibat proses penjajahan dan eksploitasi sumber daya alam. Mahatma Gandhi pernah berdebat dengan Pemerintah Inggris mengenai model pembangunan di India, “Mengapa India tidak mengikuti Inggris saja?” dengan diplomatis Gandhi berargumen, “Kalau negara sekecil Inggris untuk dapat maju dengan cara menjajah dan mengeksploitasi sepertiga luas bumi, maka India yang besar ini untuk dapat maju harus menjajah berapa planet seperti bumi ini?”

Pembangunan yang terlalu menekankan pada pertumbuhan ekonomi semata, seringkali dapat berbenturan dengan kepentingan masyarakat luas yang menginginkan keadilan dan keberlanjutan.[6] Konsep Pembangunan mensyaratkan pertumbuhan semata, di sisi lain melupakan aspek keadilan. Ada tawaran menarik dari Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam opininya di Kompas:

“.....Selama ini kita selalu meletakkan ‘pertumbuhan’ sebagai jiwa paradigma pembangunan. Kita tidak pernah meletakkan ‘keadilan’ sebagai jiwanya. Bahkan, kita pun malas untuk melakukan sintesis sebagai upaya mempertemukan keduanya secara sinergis. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama ini, faktanya, tidak berkorelasi lurus dengan tingkat kesejahteraan dan keadilan rakyat.....

.......Meletakkan ‘keadilan’ dalam jantung paradigma pembangunan berarti mendasarkan pembangunan bukan hanya dalam artian ekonomi semata yang cenderung mengabaikan ruang (geografi fisik dan sosial), tetapi berbasis pada ruang dan gerak komunitas.......

.......Saya percaya bahwa kebangkitan bangsa Indonesia bisa dimulai dari kesepakatan kita untuk menghargai pluralisme dan menjadikan kebudayaan sebagai koordinat paradigma pembangunan nasional. Paradigma ini mungkin tidak akan membuat kita kaya, tetapi akan menyebabkan kita bebas.”[7]


C. Pembangunan dan Krisis Lingkungan Hidup

Perkembangan pengetahuan dan teknologi telah memungkinkan manusia mengontrol ketidakpastian dan mengelola perubahan untuk mencapai kemajuan. Kemampuan manusian ini pada gilirannya akan berdampak pada tekanan terhadap sumber daya alam.[8] Menilik sejarah ekonomi Eropa, merkantilisme muncul sebagai awal dari paham Kapitalisme yang mensyaratkan satu hal yakni Monopoli. Oleh karenanya merkantilisme sering disebut sebagai Kapitalisme Monopolistik. Merkantilisme mensyaratkan pengumpulan / akumulasi modal melalui strategi monopoli. Secara langsung, sasaran dari sumber pendapatan adalah sumber daya alam. Sumber daya alam menjadi obyek eksploitasi demi penumpukan modal. Pada awalnya, semangat merkantilisme ini dibawa orang-orang Eropa ke negara-negara agraris layaknya Indonesia untuk mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia melalui investasi asing. Pada awal abad 17, VOC datang ke Indonesia dan menerapkan prinsip merkantilisme tersebut dengan membuat perkebunan-perkebunan di pulau Jawa.

Tekanan manusia terhadap alam pada awalnya dimulai oleh penemuan-penemuan mutakhir dalam kisaran masa revolusi industri di Inggris. Penemuan-penemuan mesin-mesin yang bertujuan awal meringankan beban manusia, pada gilirannya akan merubah sekaligus meradikalisasi eksploitasi atas sumber daya alam. Sumber daya alam dipandang bukan lagi sebagai media pemenuhan kebutuhan hidup manusia, tetepi berubah menjadi sumber pendapatan atas ‘proyek’ yang bernama “penumpukan modal”.

Faktor lain dari besarnya tekanan terhadap sumber daya alam adalah pertumbuhan penduduk yang secara drastis semakin naik. Penduduk dunia yang selama berabad-abad hanya berkiras setengah juta jiwa, sejak revolusi industri meningkat pesat. Tahun 1806 jumlah penduduk dunia baru mencapai satu milyar. Kemudian secara berangsur-angsur naik menjadi dua milyar pada tahun 1927, naik lagi menjadi tiga miliar pada tahun 1960-an. Hanya dalam waktu kurang dari setengah abad atau antara tahun 1960-an hingga tahun 2000, penduduk dunia telah meningkat berlipat ganda menjadi 6 miliar jiwa.

Selayaknya kita perlu menilik kembali hubungan antara manusia dengan alam. Bahwa hubungan antara manusia dengan alam perlu ditata ulang. Hubungan kepentingan yang hanya melulu bersandar pada aspek ekonomi dalam konteks ekploitasi perlu disandingkan secara proporsional dengan kepentingan ekologis berupa unsur pemenuhan kelestarian dan keberlanjutan sumber daya alam itu sendiri (eco-friendly).

Pemanasan global dan perubahan iklim yang marak diperbincangkan akhir-akhir ini adalah buah dari pola hubungan manusia dan alam yang cenderung eksploitatif. Di sisi lain, kemajuan teknologi juga menyumbangkan hal yang sama. Pemanasan global paling tidak disebabkan oleh tiga hal: pertama Emisi Gas Rumah Kaca (GRK: CO2, CH4, N2O, SF6) ke atmosfer; kedua Alih penggunaan lahan. Ketiga terkait dengan sosial, budaya, ekonomi politik, kapitalisme internasional, dan colonial mode of develompment[9]. Dalam konvensi Perubahan Iklim terakhir di Bali akhir tahun lalu, salah satu hasilnya yakni mewajibkan negara-negara maju untuk menurunkan emisi gas rumah kaca 5% dari baseline tahun 1990 dalam periode 2008-2012. niatan baik perbaikan lingkungan tersebut disambut baik oleh negara-negara maju, terkecuali Amerika Serikat yang masih menampakkan keengganannya. Dalam pertemuan di Bali tersebut juga direkomendasikan agar negara maju memberikan insentif terhadap negara-negara berkembang untuk membangun kembali basis ekologi hutan alam tropis yang sempat porakporanda justru akibat wacana modernisasi dan wacana pembangunan yang digawangi oleh negara maju.

Saat ini, wacana ekolabeling marak diberdayakan. Standart-standart sertifikasi hasil hutan kayu mulai disusun sekaligus telah dilaksanakan di beberapa negara penghasil kayu, termasuk Indonesia. Standart sertifikasi hutan paling tidak meliputi 3 (tiga) aspek; Ekologi, Ekonomi, Sosial. Pengelolaan hutan sebagai sumber kayu mensyaratkan kelestarian dalam arti jaminan tetap terjaganya ekosistem hutan; keberlanjutan (sustainable) produksi kayu dan manfaat ekonomi yang berkelanjutan; dan yang terakhir adalah mensyaratkan tidak adanya konflik sosial dalam pengelolaan hutan, termasuk di didalamnya soal pelanggaran HAM masyarakat sekitar hutan. Skema sertifikasi selain sebagai alat kelestarian, juga bermaksud memberi insentif kepada pengelola hutan yang terbukti lestari. Saat ini, beberapa negara Eropa telah mensyaratkan produk kayu dari hutan tropis Indonesia yang masuk ke negaranya harus telah memenuhi standart sertifikasi yang telah disepakati bersama tersebut. Dalam konteks itu, wacana ekolabeling hendaknya bisa menjadi alat guna mendukung gerakan penanggulangan dampak perubahan iklim dan pemanasan global yang sedang marak dilakukan.

D. Menuju Pembangunan Berkelanjutan:

Mempertemukan Ekonomi dan Ekologi, Sebuah catatan Akhir

Ide tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable developtment) berakar dari pemikiran yang berusaha mengintegrasikan perspektif ekonomi dan perspektif ekologi.[10] Integrasi keduanya dalam tataran konsep dan praksis terkadang menemui jalan buntu. Hal ini dikarenakan watak dasar dari keduanya sungguh berbeda. Ilmu ekonomi berkembang dan cenderung memfokuskan diri pada capaian-capaian jangka pendek, sedangkan ilmu ekologi berusaha dan cenderung mendorong capaian-capaian yang bersifat jangka panjang. Pekerjaan Rumah bagi penduduk dunia sekarang adalah berusaha mempertemukan dua logika tersebut dalam sebuah takaran yang mencakup unsur-unsur keseimbangan diantara keduanya. Keseimbangan yang dimaksud adalah kesimbangan yang berkeadilan sesuai dengan kondisi sekarang, di mana kondisi sekarang mensyaratkan perhatian lebih kepada perbaikan kualitas lingkungan.

Wacana pembangunan berkelanjutan di Indonesia sebenarnya telah disusun sebelum krisis multidimensional 1998. Berupa strategi integrasi lingkungan yang disusun oleh kantor kementrian lingkungan hidup dan UNDP pada tahun 1997 meliputi: pertama pengembangan pendekatan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan; kedua pengembangan pendekatan pencegahan pencemaran; ketiga pengembangan sistem neraca ekonomi, sumber daya alam, dan lingkungan. Namun, belum dilaksanakan, Indonesia terlebih dahulu terkena krisis multidimensional pada tahun 1998. Pembangunan berkelanjutan menurut Baiquni setidaknya membahas empat hal:

1. Upaya memenuhi kebutuhan manusia yang ditopang dengan kemampuan dan daya dukung ekosistem;

2. Upaya peningkatan mutu kehidupan manusia dengan cara melindungi dan memberlanjutkan;

3. Upaya meningkatkan sumber daya manusia dan alam yang akan dibutuhkan pada masa yang akan datang;

4. Upaya mempertemukan kebutuhan manusia secara antar generasi.[11]

Wacana pembagunan yang cenderung eksploitatif terhadap alam sudah selayak mulai dihentikan sedari sekarang. Mengingat persoalan pemanasan global dan perubahan iklim kian menjadi sekaligus mengancam keberlanjutan ekosistem bumi yang didalamnya salah satunya termasuk kita, umat manusia. Peradaban manusia sungguh telah terancam, menuai kepunahan ataukah mendapati keberlanjutan hingga kita semua mendapati cucu kita bermain air di mata air dalam hutan rindang nan hijau.


DAFTAR PUSTAKA

Baiquni, M. (2002), “Integrasi Ekonomi dan Ekologi: Dari Mimpi Menjadi Aksi”, dalam Jurnal Wacana “Lingkungan versus Kapitalisme Global” Yogyakarta: Insist Press, halaman 19-40.

Sumber Lain

Makalah Dr. San Afri Awang “Sense of Problems” dalam Pendidikan Kritis untuk calon aktivis lingkungan. Diselenggarakan oleh ARuPA – DfID, Yogyakarta Februari 2008. Tidak diterbitkan.

Harian Kompas, 26 Mei 2008. hal. 6.

http://id.wikipedia.org/wiki/globalisasi



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/globalisasi

[2] Makalah Dr. San Afri Awang “Sense of Problems” dalam Pendidikan Kritis untuk calon aktivis lingkungan. Diselenggarakan oleh ARuPA – DfID, Yogyakarta Februari 2008. Tidak diterbitkan.

[3] Bahan Kuliah H. Purwanta “Perspektif Global” mata kuliah Sejarah Dunia Kontemporer, Jurusan Sejarah USD, 2008. Tidak diterbitkan.

[4] Pidato tersebut disampaikan Truman saat pengukuhannya sebagai presiden Amerika pada tanggal 20 Januari 1949. Kutipan ini diambil dari tulisan Gustavo Esteva: 1992 dalam Baiquni “Integrasi Ekonomi dan Ekologi: Dari Mimpi Menjadi Aksi” dalam Jurnal Wacana Edisi 12 tahun 2002, Yogykarta: Insist Press. hal 24.

[5] Baiquni, M. “Integrasi Ekonomi dan Ekologi: Dari Mimpi Menjadi Aksi” dalam Jurnal Wacana Edisi 12 tahun 2002, Yogykarta: Insist Press. hal 25.

[6] Ibid. hal. 26.

[7] Harian Kompas, 26 Mei 2008. hal. 6.

[8] Baiquni. Op. Cit. hal. 21

[9] San Afri Awang. Op. cit.

[10] Baiquni. Op. Cit. hal. 30

[11] Baiquni. Op. Cit. hal. 35

Tidak ada komentar: