Rabu, 11 Februari 2009

Eropa Abad Modern (bag 2) REVOLUSI PRANCIS

Revolusi Perancis
(Periode 1789-1799)

1. Pendahuluan
Robohnya Ancien Regime dan pembentukan rezim politik dan sosial yang baru oleh kaum borjuis, sesuai dengan gagasan para Filsuf, disebut revolusi 1789 atau Revolusi Perancis.
Yang dimaksud Ancien Regime (“Rezim Lama”) adalah sistem politik, administrasi, ekonomi, sosial dan religius Perancis pada abad XVI, XVII dan XVIII. Sistem pemerintahannya yakni monarkhi absolut ketuhanan. Raja mendapatkan tahtanya hanya dari Tuhan dan hanya bertanggungjawab kepada Tuhan. Wewenangnya tidak dapat dikontrol atau dibatasi oleh siapapun. Oleh kaum borjuis, rezim lama yakni monarkhi absolut ingin diganti dengan monarkhi aristokratik agar mereka bisa berperan dalam keputusan-keputusan negara.
Tiga abad sebelum revolusi 1789, masyarakat Perancis dapat digolongkan menjadi 3 bagian; golongan agamawan, golongan bangsawan, dan golongan ketiga yang terdiri dari kaum borjuis, kaum pengrajin, dan kaum petani. Namun hal yang tidak bisa dipungkiri, pembagian tiga golongan itu tidak sama dengan kenyataan yang ada. Agamawan tinggi berasal dari Golongan Bangsawan dan agamawan rendah berasal dari golongan ketiga; bangsawan kecil di daerah-daerah seringkali lebih miskin dari pada orang-orang tertentu dari golongan ketiga. Dalam golongan ketiga itu sendiri, kaum borjuis termasuk kategori masyarakat yang kehidupannya paling enak.
Dilihat dari pembagian masyarakat, ketiganya masih mencerminkan sisa-sisa abad pertengahan Eropa. Hal ini diindikasikan dengan berkuasanya Kaum agamawan yang bekerjasama dengan kaum bangsawan dalam mengelola pemerintahan serta relasi-relasi sosial. berdiri Pada dasarnya, masyarakat Perancis memaknai revolusi 1789 adalah berkisar pada dua ide besar: kedaulatan rakyat dan persamaan hak.


2. Deskripsi
Pada tanggal 17 juni 1789, dengan anggapan bahwa golongan ketiga mewakili 96% dari populasi bangsa Perancis, maka golongan ketiga melakukan aksi mengancam akan membentuk dewan nasional (Assemblee Nationale) untuk membentuk sebuah Undang-Undang Dasar serta menghapuskan pemisahan tiga kelas tersebut. Pada akhirnya, dewan nasional juga sering disebut dewan konstituante.
Sebelumnya, pada tanggal 14 juli pemberontakan bertambah keras, didukung oleh sikap resimen pengawal Perancis (Gardes Francaises) yang memberontak. Rakyat termasuk sejumlah borjuis, menyerbu hotel Des Infalides untuk merebut senjata, kemudian berbondong-bondong menuju benteng Bastille untuk merampas senapan dan meriam. Akhirnya hotel dan benteng bisa dikuasai oleh golongan yang melakukan “revolusi” pada waktu itu.
Sementara, di sisi lain, perjuangan dewan nasional masih berlanjut. Pada 26 agustus 1789, dewan menetapkan Deklarasi Hak-hak Manusia (Declaration des Droits de l’Homme) dan menetapkan garis-garis besar rencana Undang-undang Dasar yang hanya memberikan kekuasaan terbatas kepada raja. Dua keputusan itu seraya meneguhkan dua tujuan awal atas dilangsungkannya revolusi ini yakni kedaulatan rakyat dan persamaan hak. Persamaan hak diwujudkan dengan pengakuan Hak-hak Manusia yang sama antara golongan satu dengan golongan yang lain, sehingga pemilahan golongan-golongan berdasar kedudukan ekonomi dan status sosial menemui ketidaksesuaiannya.

Filsuf Condorcet (1743-1794) mendefinisikan hak-hak manusia, sebagai:
• Keamanan individu, jaminan tidak akan terganggu oleh kekerasan apa pun, jaminan bisa menggunakan kemampuannya dengan bebas dan mandiri untuk tujuan apa pun asal tidak bertentangan dengan hak-hak orang lain;
• Keamanan untuk memakai miliknya dengan bebas;
• Hak dikenakan hanya oleh undang-undang umum yang dikenakan pada semua warga negara dan penerapan undang-undang dipercayakan kepada orang yang tidak memihak;
• Hak untuk ikut, baik secara langsung maupun lewat wakilnya, menyusun undang-undang dan segala pernyataan yang dibuat atas nama masyarakat.
Sementara kedaulatan rakyat diwujudkan dengan Undang-undang Dasar sebagai konstitusi negara yang mengatur atau membatasi kekuasaan raja. Raja tidak lagi memiliki kekuasaan absolut, karena rakyat memegang fungsi kontrol dan kekuasaannya melalui dewan nasional. Dalam hal pembatasan kekuasaan raja, ada satu tokoh terkenal yang gagasannya mengilhami masa Revolusi Perancis, dialah Jean-Jacques Rousseau. Alasan utama revolusi 1879 adalah kesalahan-kesalahan rezim politik dan ketidakadilan sosial ditambah dengan adanya krisis keuangan yang sangat parah. Tetapi krisis itu menjadi lebih parah dan meluas karena gagasan dan suasana revolusioner yagn ditimbulkan oleh karya para filsuf serta karena oposisi parlement-parlement.
Gagasan sebentuk negara Republik a la Rousseau bagi sebagian besar masyarakat Perancis adalah tidak mungkin diterapkan di Perancis pada fase-fase awal revolusi 1789. Karena rakyat kecil masih perlu untuk mendapat pendidikan sehingga akan tidak tidak seimbang seandainya rakyat kecil masuk dalam pergulatan politik. Walaupun demikian, semua orang Perancis waktu itu terbawa oleh gelombang optimisme yang besar. Mereka yakin bahwa jaman ketidaktahuan, syakwasangka dan kelaliman sudah lampau. Akhirnya manusia akan hidup dan dibebaskan dari segala beban. Masyarakat Perancis kemudian aktif belajar berpolitik lewat lembaga politik, membentuk kelompok pembaca, jurnalisme dan wahana-wahana yang sekira menambah pengetahuan atas dunia dan hak-hak kebebasan manusia.

3. Ide Masa Depan
Apa yang terjadi di Perancis pada sepuluh tahun di akhir abad 18 (1789-1799) membawa implikasi atas bidang-bidang kehidupan di Perancis secara khusus, dan dataran Eropa secara umum, dan mungkin dunia. Revolusi Perancis meneguhkan takluknya kekuasaan raja atas kuasa rakyat, walau dalam hal ini rakyat direalisasikan oleh para kaum borjuis Perancis. Revolusi ini mau tidak mau telah membawa ancaman bagi model kekuasaan apapun terutama model-model monarkhi absolut di Eropa. Di samping itu, angin segar juga dirasakan oleh para intelektual liberal, karena cita-cita kebebasan dan keadilan telah dilakukan, paling tidak melalui revolusi ini. Demikian, misalnya pendirian patung liberti di amerika utara membawa bukti tersendiri bahwa penyebaran prinsip-prinsip kebebasan telah melampaui negeri Perancis serta benua Eropa secara umum. Dalam bidang politik, ide-ide kebebasan (liberty), kesetaraan (egality), dan persaudaraan (Fraternity) masih dirasakan hingga kini sebagai nilai-nilai universal humanistik yang melulu terus diperjuangkan keberwujudannya.
Dalam urusan ekonomi, secara umum petani mendapati nasib yang lebih baik─ petani dalam konteks ini adalah petani yang memiliki tanah relatif luas─ karena hanya petani-petani pemilik tanah yang menikmati penghapusan hak-hak feodal dan pajak dime, demikian juga kebebasan mengolah dan menjual sendiri hasil tanahnya (paling tidak pada saat itu tidak ada penyitaan maupun penetapan harga maksimum). Hal yang kiranya ironis adalah apa yang dialami petani kecil. Tak sebanding dengan petani kaya, petani kecil menikmati sedikit hasil dari Revolusi Perancis─ padahal mereka mengirim jumlah terbesar dalam perekrutan massal tahun 1793. Hal ini terlihat misalnya dalam jumlah kecil undang-undang yang ditetapkan demi kepentingan mereka. Namun, walau bagaimanapun, ide ekonomi yang masih terbawa hingga zaman kini adalah semangat penghapusan sistem-sistem feodal dalam masyarakat serta semangat-semangat libaralisme dalam urusan ekonomi.
Dalam bidang sosial, kiranya Revolusi Perancis menyumbangkan wacana-wacana peninggalan Ancien Regime tradisional menuju pendirian rezim baru yang berdasarkan akal budi. Itulah sebabnya revolusi dapat dianggap sebagai buah dari abad 18, yang disebut abad pencerahan.

4. Penutup
Lompatan menarik telah dilakukan di Perancis. Ide-ide libaralisme yang identik dengan kebebasan dan penghargaan atas individu-individu warga negara coba dikukuhkan. Demikian halnya, revolusi ini membias ke bidang-bidang politik, ekonomi, dan sosial. Hancurnya monarkhi absolut raja Perancis dan tumbuhnya kekuatan baru yakni dari perwakilan rakyat sedang berperan dalam usaha-usaha yang dilakukan negara. Ide-ide yang melingkupi segala fenomena sejarah seputar Revolusi Perancis membawa implikasi di masa-masa sesudahnya, pun hingga sekarang, di berbagai tempat di dunia, tidak hanya di Perancis ataupun di darat Eropa saja. Dengan demikian di dalam karya Revolusi Perancis kita tidak boleh hanya melihat hal-hal yang telah dilaksanakan. Gagasan-gagasan untuk masa depan sama pentingnya karena gagasan-gagasan itu juga terlaksana pada saat berikutnya.

Daftar Pustaka

A. Malet dan J. Isaac. 1989. Revolusi Perancis, 1789-1799. Jakarta: PT. Gramedia bekerjasama dengan Centre Cultural Francais.

Eropa Abad Modern (bag 1) REVOLUSI INDUSTRI

1. Pendahuluan
Dalam kajian Sejarah kita mengenal dua dimensi: dimensi spasial (ruang) dan dimensi waktu. Dimensi waktu berbicara soal perjalanan gerak sejarah dalam aktivitasnya di dalam dimensi ruang. Hal ini merupakan bagian integral dari perjalanan konsep waktu secara umum, masa lalu, kini, dan masa depan. Di dalam dimensi waktu dalam sejarah, dikenal istilah Periodisasi yang merupakan usaha pemilahan dan pembatasan beberapa cakupan waktu dalam periode-periode tertentu. Penentu atas penentuan macam periodisasi meliputi kategori-kategori sistem kehidupan serta momentum-momentum yang mengikutinya. Khusus dalam hal momentum, hal ini biasanya menjajikan sebuah kemudahan untuk menentukan pijakan waktu, di mana era lama diselesaikan dan era baru dimulai.
Layaknya dua sisi dalam kepingan koin, istilah Industri dan Modern dalam sejarah Eropa sering dikait-kaitkan dan cenderung identik satu sama lain. Hal ini beralasan mengingat definisi modern yang just now hendak meninggalkan masa ancient seraya berbanding lurus dengan Industri yang hendak meninggalkan pra Industri. Menurut Healton, Lima abad sesudah Zaman Pertengahan merupakan merupakan titik awal Zaman Modern yang ditengarai dengan penggunaan mesin uap dan berbagai mesin logam lain dalam dunia industri di Inggris. Berawal dari penemuan dan penggunaan mesin uap untuk pertambangan batu bara, penggunaan mesin-mesin logam mulai menyeruak diberbagai industri manufaktur di seluruh eropa. Penggunaan mesin dalam industri sekaligus menggantikan fungsi-fungsi tenaga kerja manusia. Lebih jauh, penggantian penggunaan tenaga manusia menjadi tenaga mesin dalam industri-industri manufaktur eropa akhir abad 18 kemudian disebut sebagai Revolusi Industri. Tidak hanya membawa dampak pada motivasi efisiensi dan efektifitas produksi, lebih lanjut, perubahan masif tersebut membawa dampak-dampak sosial ekonomi di eropa dan di dunia secara umum.

2. Pembahasan
2.1. Latarbelakang
Revolusi dalam konteks apapun selalu digunakan untuk menjelaskan sebuah lompatan radikal dari sebuah masa ke masa yang lain. Ada unsur perubahan, pendobrakan, perombakan, pembaharuan, dan terkadang diwarnai oleh friksi-friksi antara kelas/golongan. Hal lain yang mencirikan sebuah revolusi adalah kesan mendadak dan seketika tanpa ada langkah-langkah bertahap layaknya “evolusi”. Antara revolusi dan evolusi sebenarnya memiliki keterkaitan. Revolusi dapat dimaknai lompatan terakhir atas rentetan tahapan yang telah dibangun secara evolutif.
Sejak zaman purba, manusia memiliki kecenderungan untuk membuat alat dalam proses menuju sebuah tujuan. Alat yang dimaksud bisa berupa organisasi kerja, proses-proses kerja, dan alat sebagai sebuah benda (alat bantu/pesawat sederhana). Karena manusia adalah mahluk pemikir (homo sapiens) selain sebagai manusia tukang (homo faber), seiring perkembangan waktu maka kreasi-kreasi perbaruan alat selalu dilakukan. Tahapan evolusi manusia hingga abad 18 kiranya sudah sampai pada tahapan yang mencukupi untuk dikatakan civillized. Mengingat organisasi-organisasi persekutuan sosial, organisasi produksi, organisasi politik sudah lama berdiri. Khusus dalam hal organisasi produksi, pada abad 18 di eropa telah mengalami lompatan yang cukup signifikan. Seiring dengan kemunculan gilda-gilda yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari industri rumah tangga dan sistem-sistem Factory (perusahan/pabrik), alat-alat berupa mesin-mesin logam bermunculan. Semangatnya berkisar pada perbaikan kualitas hidup, lebih spesifik lagi pada pemenuhan prinsip-prinsip efisiensi dan efektifitas dalam produksi. Sebuah revolusi baru manusia telah dimulai dengan lebih khusus berkutat dengan hal industri. Oleh karenanya, Revolusi Industri pada abad 18 di Eropa telah menapaki babak pertama.
Secara otomatis, Revolusi Industri ini telah berdampak pada bidang-bidang ekonomi, karena alat-alat baru yang dikembangkan merupakan bagian dari usaha-usaha pengembangan industri manufaktur eropa. Namun, selain bidang ekonomi, Revolusi Industri juga membawa implikasi-implikasi dalam bidang sosial, karena relasi antar manusia menjadi terpengaruh atasnya.

2.2. Pengaruh Bidang Ekonomi
Penemuan mekanik-mekanik untuk mendukung sebuah institusi produksi seakan menyambut periode sebelumnya di mana Gilda-gilda ekonomi telah berkembang di awal renaisans. Bisa dikatakan Revolusi Industri semakin memasifkan perkembangan industri manufaktur kala itu. Karena tenaga kerja manusia diganti dengan tenaga mesin, karena struktur produksi semakin mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi, hal ini membawa pengaruh tersendiri tehadap semakin pesatnya industri manufaktur di eropa. Produksi barang yang dilakukan secara efisien telah membuka peluang laba besar guna perluasan-perluasan daerah pemasaran lebih lanjut. Semakin besar perusahaan, semakin rumit tata aturan organisasi perusahaan. Sebagai contoh, industri kain wol di Italia mengerjakan kain wol dengan dicuci, disikat, diminyaki. Selanjutnya kain wol harus dipintal, disisir dan digulung. Setelah itu, kain harus ditenun, disusutkan, dicelupkan, dan disempurnakan, demikian seterusnya hingga kain sampai pada konsumen. Proses produksi yang panjang dan berjenjang semakin detail, membutuhkan peralatan-peralatan sebagai piranti kemudahan. Alat-alat mekanik harus ditemukembangkan untuk mendukung hal tersebut.
Kita bisa mengambil contoh dari kasus kreativitas pengembangan industri besi. Sejak awal “Jama Besi” yang ditandai dengan keahlian peleburan biji besi yang pertama terjadi pada bangsa Hittit di Asia Minor (sekarang Turki) sekitar tahun 1400, perkembangan industri berbasis besi terjadi secara meyakinkan pada pertengahan abad 18. Perkembangan pesat ini dimungkinkan karena adanya tiga kebutuhan besar pada waktu itu : Pertama karena adanya perang yang membutuhkan bermacam senjata yang terbuat dari besi dan logam-logam yang lain. Kedua yakni tampilnya industri uap yang mengolah batubara. Ketiga adalah kebutuhan yang paling besar dan merupakan akibat dari kebutuhan yang kedua. Penggunaan tenaga uap menuntut konstruksi-konstruksi yang lebih kuat tidak hanya untuk mesin-mesin itu sendiri, tetapi juga untuk pabrik-pabrik, alat-alat pengangkutan, dsb.
Perkembangan industri melalui pendirian pabrik-pabrik manufaktur tidak akan berkembang begitu pesat tanpa adanya komunikasi dengan konsumen yang membutuhkan barang produksi, pun dalam hal penyajian bahan baku. Bahkan sejak awal pendirian gilda-gilda di Eropa, perluasan wilayah pasar dan penemuan, pembelian bahan baku secara langsung dari daerah penghasil membutuhkan alat transportasi dan perawatan dan pembuatan jalur-jalur distribusi. Di Inggris, pada abad 18, jalan-jalan bekas yang dibangun pada masa kekaisaran Romawi masihlah tetap eksis. Namun kondisinya tidak terlalu memungkin untuk dilalui secara baik. Oleh karenanya, program perbaikan jalan-jalan di Inggris secara masif dilakukan, selain membuat jalan-jalan baru. Di Inggris, pada abad 17 di beberapa kota teradapat beberapa pedagang yang mulai melancarkan usaha perbaikan keadaan yang merintangi usaha kemajuan perdagangan di kota mereka. Dengan persetujuan parlemen, dibentuklah badan-badan hukum yang disebut “Turnpike Trust” dan yang diberi tugas memelihara sejumlah jalan dalam distrik mereka. Kemudian untuk membiayai perbaikan itu dibangun pintu-pintu pabean (semacam portal dimana pengguna jalan diwajib membayar retribusi setiap akan melewati jalan tersebut).
Selain perbaikan jalur raya darat, diinisiasikan pula penggalian-penggalian terusan di atas tanah Inggris yang berbukit. Penggalian terusan dilakukan untuk menjawab mahalnya perjalanan jalur darat lewat jalan raya, dan lamanya pelayaran yang cenderung memutar karena terhalang daratan yang sebenarnya sempit.
Namun, perkembangan mutakhir atas alat transportasi dan sarana distribusi adalah transportasi darat dengan kereta dari kuda yang menggunakan rel besi. Pada tahap awal, di Inggris sistem ini baru berkembang sejak awal abad 18 di Newcastle dan Wales untuk melayani pertambangan batubara dan batu tulis. Pada akhirnya, tahun 1811 dibangun sebuah mesin uap kerata oleh Murray dan Blenkinsop yang bisa menarik 27 kereta namun dengan kecepatan 5 km per jam.

2.3. Pengaruh Bidang Sosial
Tidak semua lapisan atau golongan masyarakat memainkan peranan yang sama aktifnya dalam proses industrialisasi, demikian pula kehidupan sosial mereka tidak mengalami pengaruh merusak yang sama intensifnya dari proses itu. Senyatanya terdapat golongan-golongan yang sebelum Revolusi Industri telah kaya raya, pada masa Revolusi Industri semakin kaya tanpa andil besar mencipta sendi-sendi pembentuk Revolusi Industri. Di Inggris, golongan itu misalnya para Tuan Tanah dan Pedagang. Pendapatan para tuan tanah semakin meningkat seiring dengan permintaan tanah yang naik akibat proses perluasan kota-kota perindustrian. Ganti rugi lahan akibat dikeruk untuk terusan, belum lagi soal peluang tanah mereka menyimpan batu bara atau besi. Secara jelas dapat dikatakan bahwa para tuan tanah tidaklah menyumbangkan secara signifikan kemajuan-kemajuan industri tetapi justru mendapati keuntungan yang besar akibat kreasi-kreasi industri kala itu.
Sementara itu, muncul golongan menengah, di mana terdiri dari pengusaha-pengusa yang baru yang muncul dari bawah. Merekalah tokoh-tokoh industri saat itu, misalnya usahawan kecil, pemilik bengkel atau toko; pemilik sebidang tanah sederhana dengan pengalaman dalam menyelenggarakan industri rumahan, bahkan buruh yang cakap dan yang dari mandor menjadi pemilik bengkel yang dapat dikembangkannya dengan meminjam sedikit kapital, dan orang-orang lain semacam itu.
Golongan baru lain yakni semacam “captains of industry” orang-orang yang memiliki keahlian. Merekalah misalnya para ahli pembuat instrumen/alat, pengasah lensa, arsitek, pelukis, pemahat, dsb. Sementara golongan yang tetap ada dari pra Revolusi Industri adalah massa buruh bukan ahli. Namun bedanya, pada masa Revolusi Industri ini, golongan buruh bukan ahli jumlahnya semakin meningkat menyusul meluasnya bidang-bidang produksi pabrik serta meningkatnya jumlah permintaan barang. Tidak seperti golongan-golongan lain yang mendapati keuntungan besar dari Revolusi Industri, alih-alih sempat meningkatkan kesejahteraan, para buruh bukan ahli tetap saja menjadi golongan yang tereksploitasi oleh pabrik-pabrik “buatan” zaman Revolusi Industri. Namun, tanggungjawab perkara ini tidak sepenuhnya pada Revolusi Industri. Ada banyak faktor yang melingkupinya, salah satunya kebijakan perundang-undangan yang ada.

3. Penutup
Sepertihalnya telah diuraikan di muka, bahwa Revolusi Industri adalah bagian dari periodisasi sejarah eropa. Menjadi periodisasi tersendiri karena Revolusi Industri membawa masyarakat eropa pada zaman baru, zaman modern, zaman di mana yang lama ditinggalkan dan yang baru dimulai. Penemuan-penemuan alat-alat mesin serta perluasan daerah-daerah industri secara masif merupakan tanda-tanda zaman baru tersebut. Selain itu, penggantian tenaga manusia menjadi tenaga mesin tidak kemudian mempersempit lapangan kerja para pekerja, karena seiring semakin pesatnya pertumbuhan penduduk, hal ini syukurnya dibarengi dengan semakin meluaskan industri-industri manufaktur yang memerlukan tenaga kerja tidak sedikit.
Namun, dari Revolusi Industri paling tidak kita dapat belajar dari munculnya golongan menegah dan para buruh ahli pada waktu itu. Merekalah sebenarnya yang menjadi aktor utama atas Revolusi Industri ini, bukan para tuan tanah, bukan pedagang, bukan penguasa pemerintahan, dan buka juga pegawai gereja.



Daftar Pustaka

W.J. van der Meulen. S.J. Belajar dari Lahirnya Industrialisasi di Eropa. Jakarta: Yayasan Kerjasama Perguruan Tinggi Katolik Jakarta.

Nasution Dj. Q. 1961. Sejarah Eropa IV. Bandung: KPPK.

Eropa Abad Pertengahan (bag 3) GILDA

1. Pendahuluan
Ada perubahan yang sangat radikal terjadi di eropa dalam kisaran abad XI. Perdagangan skala besar berkembang pesat di kota-kota perdagangan, baik yang dulu (era yunani romawi kuno) pernah ada ataupun yang baru saja muncul. Sepertihalnya telah kita ketahui bersama bahwa perekonomian abad pertengahan disandarkan pada bidang agraris, pada abad XI orientasi itu berubah menjadi perekonomian uang atau perdagangan. Konsekuensinya, muncul kota-kota dagang berikut di dalamnya terdapat gilda-gilda atau perkumpulan-perkumpulan profesi; meliputi pedagang, pekerja, maupun para seniman.
Kemunculan kota dagang di eropa dimungkinkan mengingat semakin pesatnya iklim perdagangan yang ada di dunia. Di wilayah arab, kota Bagdad, Kairo, Damaskus tumbuh menjadi sentra perdagangan. Di Konstantinopel, yang merupakan jembatan perdagangan Timur dan Barat, industri manufaktur sutera serta perhiasan mewah berkembang pesat. Sementara itu, perdagangan rempah-rempah kian marak, menyusul teridentifikasikannya maluku sebagai daerah penghasil rempah-rempah terbesar di dunia.
Pendirian gilda menjadi pilihan mengingat iklim belum sepenuhnya imune dari ancaman-ancaman tindakan kekerasan ataupun perampokan. Mengingat, abad pertengahan yang di dalamnya terdapat perang salib, menyisakan nuansa militeristik yang sangat kental. Oleh karenanya, gilda didirikan untuk melindungi kepentingan-kepentingan pihak penyangga kepentingan yang ada dalam gilda tersebut.
Menurut Lukas gilda teridentifikasi menjadi dua berdasar skala usahanya. Gilda kecil mengurusi kebutuhan lokal serta memproduksi dari bahan baku lokal serta skalanya produksinya relatif kecil. Yang kedua adalah gilda besar yang memiliki skala usaha besar, termasuk pengambilan bahan baku serta pemasaran ke luar wilayah eropa. Pada gilirannya, gilda skala besar membentuk sebuah sistem perusahaan yang rapi beserta pembagian kerja-kerjanya. Dan sekiranya, kapitalisme hendak diteguhkan dimulai dari periode ini.
2. Pembahasan
2.1. Faktor-faktor Kemunculan Gilda
Perubahan orientasi ekonomi ini membentuk kekuatan baru dalam masyarakat selain Bangsawan yang berada di kastil-kastil dan para seignor atau tuan tanah di pedesaan. Kemunculan gilda-gilda pada saat itu bukan tanpa gangguan. Para bangsawan dan pemerintah merasa khawatir jika gilda-gilda tumbuh berkembang dengan pesat, mengingat mereka membangun kekuatan solidaritas berdasar profesi dan bahkan ada yang membuat kekuatan militer sendiri . Seakan ada negara dalam negara, dan hal itu sepertinya tidak dibiarkan oleh pemerintah di masing-masing negara eropa. Tekanan melalui undang-undang maupun tindakan represif dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah pesatnya pertumbuhan gilda.
Dalam bidang perdagangan, kemunculan kota-kota dagang tersebut dimungkinkan mengingat semakin meningkatnya industri manufaktur di dunia arab dan migrasi suku-suku skandinavia ke wilayah eropa lain (Prancis, Jerman, Inggris) sembari melakukan perampokan sekaligus berdagang. Demikian, hal ini juga didukung oleh jalur transportasi yang baik. Jalan darat sisa-sisa kekaisaran romawi digunakan oleh pedagang untuk masuk ke desa-desa pertanian di seluruh eropa. Selain itu, jalur sungai, selat, dan laut juga digunakan untuk mengantar barang dagangan lintas daratan.
Jalur laut dapat diidentifikasikan mulai dari samudra atlantik, melewati laut mediterania, menembus laut hitam hingga sampai ke konstantinopel. Kota-kota yang dilewati sepanjang perjalanan tumbuh dan berkembang menjadi kota pedagangan pesisir. Demikian juga, didalam kota tersebut tumbuh pesat gilda-gilda.
2.2. Gilda Pedagang, Pekerja, dan Seniman
Gilda perdagangan (XI-XII) memiliki tujuan utama untuk saling membantu untuk melindungi diri mereka dalam masyarakat yang diwarnai banyak tindakan kekerasan dan terkadang kebrutalan. Mereka membangun ikatan kolektif sesama profesi sekaligus membuat peraturan-peraturan tersendiri yang berlaku ke dalam misalnya iuran anggota guna menyokong kepentigan-kepentingan anggota (anak sakit, mahar anak perempuan, panti asuhan). Selain itu, gilda perdagangan juga memperjuangkan golongannya dalam perjuangan politik level negara.
Gilda Pekerja (XIII) Respon pemerintah yang bekerjasama dengan gilda pedagang menggunakan kekerasan untuk menghadapi kekuatan gilda pekerja. Kendali pemerintah dilakukan melalui penetapan ketentuan hukum dalam hal pelarangan berdirinya gilda-gilda pekerja. Misalnya di Belanda pada abad XIV, pemerintah melarang segala bentuk organisasi gilda pekerja/pengrajin di dalam wilayah yuridiksinya. Demikian halnya di duke of Brabant, pemerintah tidak hanya mengeluarkan larangan, tetapi sampai menginstruksikan kepada tentara untuk mengubur hidup-hidup lima pemimpin gilda yang ada di daerah tersebut. Hal tersebut dilakukan mengingat kekuatan pekerja sering melakukan protes terhadap para pemilik modal atas nasib-nasibnya sebagai buruh. Namun yang menarik, terdapat tangga karir dalam skema perburuhan dalam perusahaan kerajinan pada saat itu. Untuk bekerja, seseorang calon pekerja harus masuk dahulu sebagai pemagang. Setelah dipandang baik, maka statusnya naik menjadi pekerja harian atau sering disebut Journeyman. Upah yang terakumulasikan akan menjadi modal untuk membuka usaha kerajinan sendiri, dan dengan begitu ia telah menjadi seorang Master.
Gilda seniman atau perkumpulan seniman dimungkinkan mengingat iklim kebebasan dirasakan begitu besar pada saat itu. Sebagai contoh, di Firensze, keluarga Medici menanggung sepenuhnya biaya hidup para seniman. Medici adalah bangsawan dan pedangan terbesar di kota itu. Gilda pedangan menjamin keamanan para seniman dari tekanan-tekanan gereja. Dengan kebebasan besar itu, seniman bisa berkumpul dan mendirikan gilda-gilda seni yang mengangkat nama banyak seniman terkenal. Melalui gilda ini seniman mendelegasikan pekerjaan, bekerja sama, hingga mendidik bakat-bakat baru.
2.3. Awal Kapitalisme
Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, gilda teridentifikasi menjadi dua berdasar skala usahanya; Gilda kecil dan Gilda besar. Gilda kecil biasanya memproduksi kebutuhan sehari-hari penduduk lokal misalnya roti, sepatu, sepatu kuda, serta tukang kayu, tukang batu dalam gilda pekerja. Sementara Gilda besar memproduksi barang-barang yang laku keras di pasaran dunia. Konsekuensinya dari produksi besar tersebut adalah pengambilan bahan baku dari luar wilayah. Kemudian muncul ekspedisi-ekspedisi untuk mencari daerah-daerah penghasil bahan baku semisal sutera di cina dan rempah-rempah di India dan maluku. Pada awalnya, gilda hanya membutuhkan modal sedikit. Namun ketika industri ini diperluas, seiring permintaan yang meningkat , maka dibutuhkan modal yang besar pula. Oleh karenanya, yang menguasai industri manufaktur pada saat itu tak lain adalah para pedagang yang memiliki modal besar.
Industri besar berkembang di negara-negara italia utara dan negeri-negeri bertanah rendah. Di Lucca menjual kain sutra skala besar kepada pedagang eropa utara. Milan terkenal dengan industri besi, venesia menghasilkan kain brokat, Hamburg memproduksi bir, Amsterdam Ikan, dan Bordeaux dengan produksi anggurnya. Semakin besar perusahaan, semakin rumit tata aturan organisasi perusahaan. Sebagai contoh, industri kain wol di Italia mengerjakan kain wol dengan dicuci, disikat, diminyaki. Selanjutnya kain wol harus dipintal, disisir dan digulung. Setelah itu, kain harus ditenun, disusutkan, dicelupkan, dan disempurnakan, demikian seterusnya hingga kain sampai pada konsumen. Proses produksi yang panjang yang membutuhkan uang untuk membeli bahan baku dan bahan pewarna serta proses penjualan hingga sampai pada tangan pembeli sungguh panjang dan rumit. Oleh karenanya dibutuhkan modal yang tidak sedikit serta pengaturan menejemen perusahaan yang mumpuni. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh pemegang modal yang besar dengan menggaji para ahli-ahli dibidangnya. Muncullah kemudian diferensiasi yang jelas antara pekerja/buruh dan pemilik perusahaan atau pemodal. Menurut Lukas , disinilah Kapitalisme, dalam arti penggunaan uang sebagai komoditi dalam manufaktur dan perdagangan, berkembang pesat.


3. Kesimpulan
Perubahan orientasi ekonomi masyarakat eropa dari agraris ke uang / perdagangan menghasilkan kota-kota dagang dan gilda-gilda. Peralihan konsentrasi dari negara ke organisasi-organisasi profesi ekonomi membawa perubahan kontestasi kekuasaan. Absolutisasi Pemerintah dan gereja tergeserkan dengan kekuatan-kekuatan ekonomis gilda-gilda. Sementara gilda-gilda sebagai kongsi / perkumpulan terus berkembang, dibutuhkan akumulasi modal yang besar, sehingga memerlukan alat pembayaran berupa uang yang mudah untuk dibelanjakan sekaligus diakumulasikan. Sejalan dengan itu, muncul pemilik modal besar yang menguasai berbagai industri manufaktur di eropa yang mempekerjakan orang dengan imbalan upah. Lahirlah kapitalisme yang seiring dengan itu muncul kolonialisme sebagai bagian dari pencarian bahan baku industri manufaktur.


Daftar Pustaka
Buku
Henry S. Lukas. 1993. Sejarah Peradaban Barat Abad Tengah. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana (terjemahan)
Nasution Dj. Q. 1961. Sejarah Eropa IV. Bandung: KPPK.

Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Renaisans
http://www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php?moid=104&fname=sej201_07.htm
http://makalah-ibnu.blogspot.com/2008/10/asas-asas-hukum-dagang.html

Eropa Abad Pertengahan (bag 2) RENAISANS

1. Pendahuluan
Abad pertengahan yang berakhir sekitar akhir abad 14, menyisakan berbagai sistem yang melingkupi kehidupan masyarakat eropa. Maraknya kehidupan agraris sebagai imbas kebangkrutan ekonomi uang, melahirkan sistem sosial pedesaan yang bersifat feodal. Sistem politik kenegaraan menyatu dengan sistem gereja, melahirkan sistem kenegaraan yang totaliter ala gereja. Mandegnya usaha-usaha penyelidikan terhadap alam beserta isinya membawa perkembangan ilmu pengetahuan ke arah keterpurukan. Seiring dengan berakhirnya perang salib sekaligus menandai berakhirnya abad pertengahan, muncul zaman baru yang sering disebut renaisans (1500 Masehi). Betapapun baru, periode renaisans tidak lepas dari peradaban sebelumnya, yakni abad pertengahan.
Pandangan hidup renaisans meletakkan manusia di pusat kejadian. Hal ini jelas berbeda dengan pemahaman hidup masa pertengahan yang menyandarkan kebenaran pada institusi dan ajaran gereja. Renaisans sangat menghargai dan bahkan cenderung mengagungkan emansipasi manusia. Oleh karenanya, sifat individualistik berkembang serta bersifat duniawiah.
Terdapat pemisahan yang jelas antara manusia dan alam. Kecenderungan paham agar manusia dapat memanfaatkan sekaligus menguasai alam meningkat. Untuk memanfaatkan dan menguasai alam maka dibutuhkan perangkat-perangkat untuk mendukungnya, yakni ilmu pengetahuan yang kian hari kian spesifik, terpilah-pilah berdasar obyek kajian. Sementara itu, manusia diteguhkan menjadi pusat dari segala kebenaran dan kekuatan, maka segala materi menjadi obyek penelitian. Termasuk diantaranya, alam, manusia, bahkan agama. Semuanya diselidiki dengan perangkat-perangkat rasionalitas helenistik serta berdasarkan fakta-fakta lapangan. Oleh karenanya, lebih jauh, kebenaran kemudian disandarkan pada rasionalitas dan empirisme.
Dalam bidang kesenian penghargaan terhadap karya-karya seni meningkat tajam, terutama dalam karya-karya lukisan. Terdapat perkembangan perspektif dalam seni lukis yang kemudian muncul pelukis-pelukis yang identik dengan masanya (Renaissance Men), misalnya Leonardo da Vinci dan Michelangelo. Mereka berdua juga sering disebut polymath yakni orang yang memiliki ilmu yang tinggi dalam berbagai macam hal. Tidak hanya itu, para borjuasi juga marak berlomba-lomba mengoleksi karya-karya seni demi satu tujuan: eksistensi menuju kemansyuran individu. Terkait dengan kemasyuran, renaisans juga memberikan peluang untuk ekspedisi-ekspedisi ke wilayah-wilayah baru di luar eropa untuk pengembangan ilmu pengetahuan sekaligus meneguhkan kemasyuran bangsa helenistik bernama eropa.
Renaisans adalah penemuan kembali tradisi kehidupan yunani romawi klasik, atau sering disebut helenistik, mensyaratkan konsekuensi-konsekuensi atas penilikan kembali naskah-naskah peradaban yunani romawi kuno. Oleh kerena itu, untuk pertama-tama, penguasaan bahasa yunani serta unsur-unsur kesusastraannya menjadi prasarat. Kajian-kajian bahasa dan sastra yunani menjadi marak, dan aktor-aktor utama atas itu adalah kaum borjuis. Pada akhirnya, bangsawan-bangsawan yang mendominasi kajian bahasa, seni, sastra, falsafah hidup yunani disebut pada saat itu sebagai kaum Humanis.
Episode sejarah eropa menapaki zaman baru, zaman pasca abad tengah yang bernama renaisans dengan kreasi-kreasi baru atas sendi-sendi kehidupan. Ia merupakan revolusi budaya, suatu reaksi terhadap kakunya pemikiran serta tradisi abad tengah.


2. Pembahasan
2.1. Golongan Pendorong
Terdapat tiga golongan yang mendorong munculnya renaisans yakni kaum humanis, saintis dan tukang/pekerja. Pertama Golongan humanis adalah kaum bangsawan yang menguasai bahasa latin untuk membuka manuskrip-manuskrip yunani kuno guna mendapatkan fondasi akar kebudayaan yunani klasik. Kaum humanis biasa berbicara soal sejarah, retorika, etika, dan politik. Tokoh humanis yang terkenal kala itu ialah Francesco Petrarca (1304-1374), atau lebih dikenal dengan sebutan Petrarch. Kedua adalah golongan saintis yang mengawali pemulihan kembali atas usaha-usaha eksperimen ilmu alam. Tokoh terkenalnya misalnya Galileo Galilei yang membantah dominasi gereja dalam menjelaskan bentuk bumi dan kedudukannya dalam tata surya. Sedangkan golongan Ketiga yakni para tukang/pekerja yang mempelopori usaha-usaha kreasi dalam bidang arsitektur. Mereka merupakan kumpulan pekerja yang bekerja berdasarkan pengalaman. Tokoh yang terkenal misalnya Brunellescchi, Bromimini, Bramanthe.

2.2. Sastra, Seni, dan Arsitektur
Perkembangan pertama renaisans terjadi di kota Firenze. Keluarga Medici yang memiliki masalah dengan sistem pemerintahan kepausan menjadi penyokong keuangan dengan usaha perdagangan di wilayah Mediterania. Hal ini membuat para intelektual dan Seniman memiliki kebebasan besar karena tidak lagi perlu memikirkan masalah keuangan dan mendapatkan perlindungan dari kutukan pihak. Keleluasaan ini didukung oleh tidak adanya kekuasaan dominan di Firenze. Kota ini dipengaruhi secara bersama oleh bangsawan dan pedagang.
Seperti telah dikemukakan di awal, bahwa kajian seni dan sastra secara masif meningkat di periode ini. Karya sastra (terutama puisi) pada masa renaisans dapat digolongkan menjadi dua yakni Tragedi dan Komedi. Sesuai dengan namanya, Tragedi memuat karya-karya sastra yang cenderung “serius” dan biasanya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena rasional dan empiris. Selain itu, ciri yang lain adalah karya sastra Tragedi cenderung menggunakan bahasa latin. Sedangkan karya sastra Komedi kebalikannya, tidak “serius”, tidak perlu dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena hanya kreatifitas imajinatif saja.
Selain itu, penggunaan bahasanya tidak selalu latin. Contoh yang dapat diambil misalnya karya Dante Alighieri (1265-1321) seorang penyair Itali yang berjudul Devine Comedy. Tentu saja, sesuai dengan namanya, karya Dante ini tergolong karya sastra Komedi, karena ia akan berkeberatan untuk mempertanggungjawabkan pengkisahannya soal perjalanan di surga dan neraka. Untuk karya ini, Dante menggunakan bahasa Tuscany, sebuah bahasa daerah kelahirnya yang masih dalam lingkup wilayah Itali. Selebihnya, ia dalam karya-karyanya menggunakan bahasa Itali. Di dalam Devine Comedy ia menggunakan nama-nama figur klasik baik yang nyata maupun yang mitos.
Selain Dante, terdapat tokoh yang lebih ditengarai sebagai pembangkit awal sastra renaisans. Dia adalah Francesco Petrarca (1304-1374), atau lebih dikenal dengan sebutan Petrarch. Dalam karyannya ia menunjukkan unsur humanisme renaisans melalui penghormatan dan pemujaannya terhadap karya klasik dan kedalaman perasaannya terhadap keindahan-keindahan dunia ini.
Dalam bidang seni lukis, Leonardo da Vinci dan Michelangelo mengembangkan keahlian-keahliannya dalam spektrum tiga dimensi. Sesuai dengan ciri renaisans yang berkonsentrasi pada antroposentris, keduanya secara detail mencoba menggambarkan sesosok manusia beserta rincian lekukan-lekukan yang ada. Selain itu, sisi alamiah manusia serta sifat-sifatnya (baik dan buruk) coba untuk ditunjukkan. Karya termasyurnya seperti “Jamuan Terakhir” dan “Monalisa” menunjukan detail kemanusiaan seorang manusia.
Dalam bidang arsitektur, masa Renaisans (yang berjaya dalam abad 15–17 M) memperlihatkan sejumlah ciri khas arsitektur. Munculnya kembali langgam-langgam Yunani dan Romawi seperti bentuk tiang langgam Dorik, Ionik, Korintia dan sebagai-nya. Ciri umum arsitektur renaisans adalah Sistematik yang bercirikan: simetris, jelas, dan teratur. Artinya perancangan denah arsitektur renaisans menggunakan daya nalar dan pikiran yang rasional, berbeda dengan sebelumnya yang hanya berdasarkan pada dalil-dalil rasa seni bangunan semata.

2.3. Ilmu Pengetahuan
Periode renaisans telah menempatkan standar kebenaran baru yakni manusia secara otonom dan merubah secara radikal pemahaman kebenaran abad pertengahan yang disandarkan pada gereja. Selanjutnya terdapat pemisahan yang jelas antara subyek dan obyek. Subyek menunjuk manusia dengan rasionalitasnya yang menyelidiki, sedangkan obyek menunjuk sebentuk materi yang diselidiki (umumnya alam). Hal ini tentu saja menunjukkan perbedaan yang kentara dengan periode pertengahan. Dalam masa renaisans, ilmu-ilmu yang dulunya hanya sebagai ilmu bantu ilmu agama, saat itu telah menjadi mandiri berdiri sendiri dan bahkan digunakan untuk juga menyelidiki ilmu agama. Seiring dengan berkembangnya paham humanisme yang menempatkan manusia pada posisi sentrum, maka ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam menjadi berkembang, dan terdistingsif dengan varian-varian sesuai bidang kajiannya. Selain itu, perkembangan ilmu pengetahuan memunculkan bermacam-macam universitas yang tersebar di bentangan eropa.
Jika dalam abad pertengahan, ilmu pengetahuan dimaknai sebagai rangkaian argumentasi, maka dalam renaisans dirombak dengan pemahaman baru bahwa ilmu pengetahuan adalah persoalan eksperimentasi. Pembuktian kebenaran bukan lagi pembuktian argumentatif-spekulatif namun melampaui itu, pembuktian kebenaran haruslah eksperimental-matematis-kalkulatif. Ciri ini didorong kuat oleh kaum saintis yang bermain dalam wilayah penelitian-penelitian eksperimentalis sekaligus membawa faham-faham kebenaran empiris.


3. Kesimpulan
Terminologi renaisans memang bukanlah merujuk pada sebuah kejadian. Ia adalah kompleksitas dari bermacam-macam kejadian. Namun, dari berbagai kejadian dapat ditarik satu benang merah pandangan hidup yang secara langsung maupun tidak telah mencirikan lompatan-lompatan sejarah yang ada. Pandangan hidup renaisans meletakkan manusia di pusat kejadian, bisa kemudian disebut antroposentris. Implikasi-implikasinya bisa bermacam-macam dan tentu telah merombak dengan radikal sendi-sendi kehidupan kala itu; ilmu pengetahuan, sains, sastra, arsitektur, seni. Menurut Nasution , renaisans dengan antroposentrisnya telah membawa manusia pada kebebasan yang lepas bebas tanpa kendali, sehingga menjadi wajar ketika muncul pelanggaran-pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat dewasa itu. Terlepas dari itu, renaisans telah membawa manusia menjadi subyek pusat atas perkembangan peradaban yang mengantarkannya pada era modern kekinian.

Daftar Pustaka

Buku
Nasution Dj. Q. 1961. Sejarah Eropa IV. Bandung: KPPK.

Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Abad_Renaisans
www.rudiirawanto.files.wordpress.com/2008/03/renaisans-eropa.ppt
http://pormadi.wordpress.com/2006/05/24/jaman-renaissance-abad-xv-xvi/
http://www.geocities.com/sta5_ar530/data/01renaisanspurna.htm

Eropa Abad Pertengahan (bag 1) PERANG SALIB

1. Pendahuluan
Sejarah Eropa memiliki bentangan waktu yang panjang dimulai sejak Paleolitik ratusan ribu tahun yang lalu. Banyak sejarawan dunia cenderung membagi periodisasi sejarah eropa menjadi tiga; eropa klasik, pertengahan, dan modern. Masa Yunani klasik hingga abad 5 masehi sering disebut zaman eropa klasik, runtuhnya kekaisaran Romawi barat hingga jatuhnya Konstantinopel tahun 1453 disebut abad pertengahan, atau sebagian pakar yang lain menyebutnya sebagai abad gelap, kemudian periode eropa modern dimulai dari renaisans hingga awal abad 20. Diantara ketiganya, kajian mengenai abad pertengahan sering diwarnai dengan kesan-kesan tidak baik. Hal ini dimungkinkan mengingat banyak kalangan sering memberikan stereotipe kepada abad pertengahan sebagai periode buram sejarah eropa mengingat dominasi kekuatan agama yang begitu besar sehingga menghambat perkembangan ilmu pengetahuan . Teresapi prinsip-prinsip moralitas yang agung serta sistem etika universal, kehidupan serta pemikiran dalam zaman pertengahan menyingkap suatu daya jangkau kekuasaan agama yang begitu luas dalam kreasi suatu peradaban yang memiliki kesusastraan, seni arsitektur, filsafat, dan institusi-institusinya sendiri.
Sejak runtuhnya kekaisaran Romawi barat, kehidupan ekonomi dapat dikatakan menurun. Kota-kota dagang satu persatu hilang, masyarakat kemudian terkonsentrasi di pedesaan. Ekonomi dagang atau ekonomi uang mati dan digantikan oleh ekonomi pedesaan yang bertumpu pada bidang agraris. Oleh karenanya, pusat-pusat gereja banyak bermunculan di desa-desa. Dengan kondisi ekonomi yang demikian, gereja memegang pengaruh kendali untuk membentuk umat sekaligus menyatukannya dalam ikatan-ikatan pertanggungjawaban teologis. Kehidupan pertanian di desa-desa tentu saja dilingkupi oleh struktur-struktur ekonomi tersendiri. Muncul seignor atau tuan tanah dan sekaligus memunculkan petani penggarap. Seignor selanjutnya mewariskan tanah-tanah yang mereka miliki kepada anak cucu nya secara turun temurun. Bisa kemudian disebut, dinasti-dinasti kecil muncul di desa-desa. Banyak para tuan tanah yang memberikan tanahnya untuk didirikan gereja. Demikian juga, para pendeta dijamin kehidupannya oleh para seignor. Oleh karenanya, menurut Lukas (1993) kekuasaan dan pengaruh para tuan tanah yang begitu besar itu selanjutnya membawa implikasi tersendiri dalam mekanisme birokrasi gereja. Secara umum bisa disebut pendeta gereja lokal itu “orang”-nya tuan tanah.
Sebagaimana telah diketahui, abad tengah dimulai ketika kekaisaran romawi barat runtuh dan digantikan oleh Kekaisaran Byzantin atau Byzantium pada awal abad VI. Ia merupakan kekaisaran kristen yang menyandarkan perekonomian pada produksi sutera dan industri manufaktur barang-barang sutera yang dibangun di Konstantinopel, Tyrus dan Beirut. Sementara musuh yang paling mengancam Byzantium tak lain adalah Persia. Beberapa kali perang terjadi diantara keduanya. Persia bisa digolongkan perwakilan dari dunia Islam yang dianut oleh bangsa Arab. Sepertihalnya Byzantium, bangsa arab memiliki sifat-sifat penaklukan yang diikat dalam identitas Islam. Muncullah dua kekuatan besar di daratan eropa dan asia, Byzantium mewakili identitas kristen dan Persia yang mewakili identitas Islam. Lebih lanjut, pertemuan dua kekuatan sekaligus dua peradaban ini sering disebut dengan perang salib atau sabil.



2. Pembahasan
2.1. Perang Salib
Ucapan “Deus Vult” atau “Allah Menghendaki” oleh Paus Urbanus II di Clermont perancis selatan tahun 1095 telah membawa peneguhan semangat kristiani dari umat gereja untuk melawan tentara Islam. Hal ini didahului oleh penaklukkan Turki terhadap kekaisaran Byzantium, dalam pertempuran Manzikert tahun 1071. Empat tahun sesudahnya, tempat-tempat suci umat kristen semisal Palestina, Syria, dan Yerusalem juga telah jatuh ke tangan umat muslim. Kehancuran Byzantium kian dekat oleh karenanya kaisar Konstantinopel, Alexus I, segera meminta bantuan kepada Paus Urbanus II. Oleh karenanya, di Perancis selatan, Paus Urbanus II membakar semangat umat kristen dengan sentimen-sentimen kemanusiaan dan kekristenan. Hingga akhirnya terbentuklah tentara-tentara Salib. Selain, usaha perebutan tanah suci, umat kristiani yang menjadi tentara salib memiliki motivasi penebusan dosa dengan maju berperang membela “Kehendak Allah”. Namun, ada yang berkeyakinan bahwa perang salib bukan merupakan perang agama, bahwa perang tersebut lebih mengarah pada perebutan wilayah (yakni tanah suci Yerusalem). Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu pengetahuan pada akhirnya.
Para tentara salib secara berkala melakukan ekspedisi-ekspedisi penaklukan ke Yerusalem. Tercatat paling tidak terdapat 9 ekpedisi besar ke Yerusalem selama kurun waktu abad 11 hingga abad 13. Kota suci secara bergantian dikuasai oleh pasukan salib dan pasukan islam. Sebagai contoh, pada perang salib I (1096-1099) tentara salib berhasil merebut kembali tanah Palestina, dan kemudian menegakkan empat negeri kristen yakni Yerusalem, Antioch, Edessa, dan Tripoli. Namun pada tahun 1144 Edessa kembali dikuasai oleh orang-orang Turki, sehingga orang-orang kristen yang telah menetap di sana tidak sanggup lagi bertahan. Usaha perebutan kembali tentara salib gagal, bahkan tentara muslim dengan kepemimpinan sultan Saladin kembali menguasai Yerusalem dan Arce sebagai basis utama tentara kristen. Akhirnya sesudah Arce jatuh terakhir kalinya ke tangan kaum muslim pada tahun 1291 dan sesudah penghacuran bangsa Occitan (Perancis Selatan) wacana perang salib berturut-turut menurun dan nyaris hilang. Tentara salib pun lama kelamaan berkurang, hingga akhirnya Napoleon Bonarpate pada tahun 1798 membubarkan tentara salib yang terakhir masih tersisa.

2.2. Pertemuan dua Peradaban
Pertemuan antara tentara kristen dan tentara islam membawa implikasi-implikasi tersendiri atas peradaban masing-masing. Mengingat, dalam peperangan memperebutkan wilayah, setiap pihak yang menang kemudian menetap untuk menempati wilayah tersebut. Bahkan ada yang tidak mau meninggalkannya sekaligus tidak mau pulang ke tempat asal dan cenderung akan mewariskan tanah tersebut kepada anak cucunya kelak. Oleh karenanya komunikasi peradaban yang meliputi kebudayaan, ekonomi, ilmu pengetahuan, sistem politik dimungkinkan terjadi. Paling tidak selama kurun waktu abad 11, interaksi Barat dan Timur menemui titik peningkatan. Barat melihat bahwa bangsa Islam di semenanjung arab meneruskan tradisi Yunani Romawi kuno yang terhilang akibat runtuhnya kekaisaran romawi klasik berikut masuknya periode awal abad tengah di mana agama kristen menguasai segalanya.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, bangsa barat banyak mendapat masukan dari bangsa timur soal sains, sistem pengobatan, dan arsitektur. Contoh yang paling lazim, penguasaan bangsa muslim atas ilmu aljabar dan lensa telah menyumbangkan sistem ilmu pengetahuan di eropa dalam kisaran selanjutnya. Sementara dalam bidang militer, perang salib juga memiliki pengaruh di Eropa, seperti misalnya, kastil-kastil di Eropa mulai menggunakan bahan dari batu-batuan yang tebal dan besar seperti yang dibuat di Timur, tidak lagi menggunakan bahan kayu seperti sebelumnya. Begitupun sebaliknya, tentara Salib dianggap sebagai pembawa budaya Eropa ke dunia, terutama Asia.

2.3. Inspirasi Renaissanse
Perang salib tidak hanya mempertemukan dua kekuatan militer, namun, menilik sisi lain dari persinggungan tersebut, ternyata perang salib menjadi wahana pertemuan dua kebudayaan yang berbeda yakni barat dan timur. Barat / eropa yang memiliki dasar kebudayaan Helenistik yang menyandarkan diri pada sendi-sendi pemikiran dan penalaran rasional dari Aristoteles dan Plato merasa kehilangan kebudayaan aslinya tersebut akibat hibranisme dan protestanisme pada masa abad pertengahan. Seperti menemu kembali induk semang yang telah lama hilang, bangsa eropa mendapati anasir-anasir kebudayaan helenistik Yunani Romawi klasik dalam lingkungan Timur yang diwakili kaum muslim di semenanjung arab dan sebagian afrika serta eropa. Banyak yang diserap dan dipelajari tentara salib atas tradisi hidup masyarakat arab serta aspek-aspek kehidupannya yang meliputi sains, ilmu pengobatan, astronomi, seni, sastra, arsitektur, dan yang lain. Begitupun bagi bangsa arab, pengaruh kebudayaan eropa tidak dipungkiri masuk dalam sendi-sendi kehidupannya.
Perang salib menjadi inspirasi atas penemuan kembali identitas kolektif masyarakat eropa. Seiring perang salib usai, masyarakat eropa menemui kesadaran baru, bahwa konsentrasi atas pengembangan kekistrenan tergolong melampaui batas sehingga aspek-aspek duniawi cenderung terabaikan. Di sisi lain, impresi-impresi kolektif muncul, setelah menemukan sendi-sendi budaya helenistik dalam kehidupan di Timur. Merujuk pada definisinya, renaissanse adalah kebangkitan berdasar penemuan kembali spirit-spirit kejayaan era Yunani Romawi klasik.
Senyatanya budaya helenistik menjadi pijakan atas pembangunan karakter eropa pasca abad pertengahan. Namun, menurut Dr. Abdul Hadi (yang merujuk pada pendapat Marthew Arnold dalam bukunya Culture and Anarchy) bahwa sendi-sendi yang memperkuat kebudayaan dan peradaban Barat bukan hanya helenisme (kebudayaan Yunani), tetapi juga kebudayaan hebraisme (kebudayaan Ibrani).
“Kebudayaan Yunani telah memberikan kepada Barat perangkat-perangkat penalaran rasional, penghargaan pada inteligensi serta kecintaan pada falsafah dan ilmu pengetahuan alam. Di lain hal Hebraisme memberikan dasar-dasar kokoh berupa kecintaan untuk bekerja keras dengan gairah yang tinggi, kepatuhan menjalankan tugas dan kewajiban sesuai aturan, serta kesanggupan mengendalikan diri.”
Apabila renaissanse dihubungkan semangat pembaruan keagamaan abad 13 yang diikuti oleh perkembangan ekonomi kapitalistik, maka hebraisme tergolong menyumbangkan spirit tersendiri. Lain halnya dengan helenisme yang memberikan penghargaan tertinggi terhadap intelegensia dan etika, maka hebraisme menekankan kepada kegairahan bekerja sehingga mencapai hasil maksimal walaupun mengabaikan nilai-nilai moral dan etika.


3. Kesimpulan
Perang salib atau sebagian lain menyebutnya perang sabil pada dasarnya tidak hanya menuai korban-korban berdarah layaknya dalam pertempuran pasukan bersenjata. Implikasi-implikasi lain ternyata muncul, diantaranya secara umum dapat disebut pertemuan dua kebudayaan yakni barat dan timur. Mewakili identitas masing-masing, keduanya mendapati impresi-impresi baru. Terutama tentara salib sebagai pihak barat menemukan cerminan kebudayaan Yunani Romawi klasik dalam kehidupan bangsa eropa. Menjadi sadar, bahwa selama kurang lebih 10 abad, bangsa eropa terkonsentrasi atas pengembangan dan penyebaran ajaran kekristenan sekaligus menegasikan tradisi-tradisi intelegensia. Apa yang kemudian disebut renaissanse pada akhirnya menjadi awal kebangkitan eropa dalam mengembangkan peradabannya hingga kini.




Daftar Pustaka

Buku
Henry S. Lukas. 1993. Sejarah Peradaban Barat Abad Tengah. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana (terjemahan)
Kuntowijoyo. 2005. Peran Borjuasi dalam Transformasi Eropa. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Internet
Makalah Dr. Abdul Hadi Kebudayaan Modern, Despiritualisasi, dan Nihilisme yang disampaikan pada Seminar Internasional Pemikiran Murtadha Murthahhari di Wisma Antara, Sabtu 10 Mei 2004. Diselenggarakan oleh ICAS Jakarta bekerjasama dengan Universitas Paramadina. di unduh dari:
http://icasindonesia.org/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=261 tanggal 14 November 2008

http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Salib