Sabtu, 20 September 2008

....kan masih ada BLT. Terima kasih pemerintah!


Oleh: Budi Purwo

Dekat dan masih hangat, Kontroversi Super Toy HL-2 melambung bak selebriti. Nama jenis varietas baru tersebut berasal dari Tuyung sebagai penemu dan Heru Lelono yang akan mabrik-i (pebisnisnya). Menjanjikan panen 3 kali setahun, variaetas serba super ini mendapati kegagalan. Apresiasi atas inovasi pertanian patut diberikan, namun refleksi bisa saja kita perluas. Mari kita perluas.

Revolusi hijau berawal di Mexico pada 1943 dengan sponsor Rockefeller Foundation dan Ford Foundation, keduanya yayasan yang berasal dari Amerika Serikat. Tahun 60-an, masuk ke Indonesia dengan tujuan meningkatkan produksi beras secara luar biasa melalui Intensifikasi tanaman pangan dengan asupan teknologi pertanian, benih unggul, pestisida, dan pupuk kimia. Kritik atas Green Revolution muncul, ketergantungan petani terhadap potensi luaran dan semakin memburuknya kualitas tanah serta terancamnya kelestarian produksi. Fauzi (1999, 166) menganggap revolusi hijau menimbulkan diferensiasi agraria, di mana hanya petani kaya saja yang mampu berproduksi dengan alat dan bahan serba beli. Komersil, tidak ramah lingkungan, dan (sekali lagi) bergantung pihak luar! Revolusi hijau, di lain hal dimaksudkan sebagai antitesis atas kebijakan ekstensifikasi pertanian yang merupakan bagian dari agenda land reform ala orde lama. Agar petani tidak berbicara lagi soal keadilan distribusi lahan, pemerintah menyarankan petani untuk memaksimalkan lahan pertanian yang dia miliki. Menurut saya, kontroversi Super Toy HL-2 yang memalukan tersebut hendanya dibaca dalam konteks ini, konteks revolusi hijau ¬nir Agrarian Reform Agenda.

(menyitir iklan tipi yang menjijikkan) “Bertani di lahan sempit tidak apa-apa, kan masih ada BLT. Terima kasih Pemerintah.” begitu kira-kira.